
Mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Rudi Suparmono, menyebut uang Rp 20,1 miliar yang ditemukan penyidik Kejagung di rumahnya tidak terkait perkara persetujuan ekspor Crude Palm Oil (CPO).
Hal itu disampaikan Rudi saat dihadirkan sebagai saksi dalam sidang kasus dugaan suap vonis lepas perkara CPO, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (10/9).
Adapun uang itu disita penyidik Kejagung saat menggeledah rumah Rudi yang berada di Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Saat itu, penggeledahan itu terkait penyidikan kasus dugaan suap vonis bebas Ronald Tannur.
Dalam kasus itu, Rudi didakwa menerima suap dan gratifikasi. Adapun uang yang ditemukan di rumahnya itu diduga sebagai gratifikasi yang diterima Rudi selama menjabat sebagai Ketua Pengadilan Negeri, termasuk saat menjabat Ketua PN Jakarta Pusat.
"Kemudian di BAP Saudara saksi ya di tanggal 12 April 2015, di poin 39 Saudara saksi, ya, ini saat penggeledahan di rumah saksi, ditemukan uang Rp 21 miliar," kata jaksa dalam persidangan.
"Rp 20,100 [miliar], Mas. Rupiah saat itu, tapi kalau wujudnya ada dolar, ada rupiah," timpal Rudi.
Rudi pun menegaskan bahwa uang yang disita tersebut tidak ada kaitannya dengan penanganan perkara persetujuan ekspor CPO.
"Itu uang-uang apa, Pak?" tanya jaksa.
"Sudah saya jelaskan di perkara saya terdahulu, izin dilihat di perkara saya saja, supaya tidak bias," jawab Rudi.
"Apakah ada kaitannya dengan penanganan perkara perdata dan tipikor migor?" cecar jaksa.
"Tidak," ucap Rudi.

Adapun dalam kasus yang menjeratnya, Rudi telah menjalani persidangan dan dinyatakan bersalah oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Dalam kasusnya, Rudi divonis pidana 7 tahun penjara dan denda sebesar Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Dakwaan Suap Vonis Lepas CPO
Dalam kasusnya, tiga orang hakim yang menjatuhkan vonis lepas dalam perkara persetujuan ekspor crude palm oil (CPO) didakwa menerima suap dan gratifikasi.
Ketiga hakim tersebut yakni Djuyamto, Agam Syarief, dan Ali Muhtarom. Mereka didakwa menerima suap secara bersama-sama dengan eks Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta, dan mantan Panitera Muda PN Jakarta Pusat, Wahyu Gunawan.
Kelimanya didakwa menerima total uang suap sebesar Rp 40 miliar dalam menjatuhkan vonis lepas perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.

Dalam dakwaannya, jaksa menyebut uang diduga suap tersebut diterima dari Ariyanto, Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan M. Syafe'i selaku advokat atau pihak yang mewakili kepentingan terdakwa korporasi Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.
Uang suap senilai Rp 40 miliar itu kemudian dibagi-bagi oleh Arif, Wahyu, dan tiga orang hakim yang mengadili perkara persetujuan ekspor CPO tersebut.
Rinciannya, yakni Arif didakwa menerima bagian suap sebesar Rp 15,7 miliar, Wahyu menerima sekitar Rp 2,4 miliar, Djuyamto menerima bagian Rp 9,5 miliar, serta Agam Syarief dan Ali Muhtarom masing-masing mendapatkan bagian uang suap senilai Rp 6,2 miliar.
Untuk Arif, ia didakwa dengan Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sementara itu, Wahyu didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 5 ayat (2) atau Pasal 11 atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Kemudian, Djuyamto, Agam, dan Ali didakwa melanggar Pasal 12 huruf c atau Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 12B juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.