Jakarta (ANTARA) - Gen Z atau generasi yang lahir sekitar 1995–2010 kerap dikaitkan dengan gaya hidup konsumtif dan gemar mencari pengalaman baru. Mereka dikenal aktif mengikuti tren, mencoba hal-hal baru, serta memprioritaskan pengalaman dibandingkan kepemilikan barang semata.
Namun, muncul pertanyaan apakah kebiasaan tersebut membuat mereka lebih rentan terlilit utang. Untuk menjawabnya, sejumlah data dan pandangan para ahli hadir memberikan gambaran mengenai pola konsumsi, perilaku finansial, serta risiko yang mungkin dihadapi generasi ini.
Fakta Gen Z rentan terlilit utang karena ongkos gaya hidup tinggi
1. Gaya hidup konsumtif dan ketergantungan finansial
Sejumlah indikator menunjukkan kecenderungan Gen Z lebih mengutamakan gaya hidup daripada menabung atau berinvestasi. Kebiasaan seperti nongkrong di kafe, belanja online, hingga membeli barang bermerek menjadi prioritas pengeluaran. Kehadiran fasilitas kartu kredit, PayLater, dan pinjaman online turut mendorong perilaku belanja impulsif tanpa memperhitungkan kemampuan finansial.
Baca juga: 7 strategi bagi Gen Z bangun relasi & networking dunia kerja & bisnis
2. Utang digital dan kredit macet
Data Otoritas Jasa Keuangan mencatat hampir 40 persen kasus kredit macet pinjaman daring berasal dari kelompok usia 19 hingga 34 tahun yang mencakup Gen Z dan milenial. Fenomena ini dipengaruhi gaya hidup FOMO atau Fear of Missing Out dan YOLO atau You Only Live Once, yang mendorong pengambilan utang tanpa kesiapan finansial bahkan hingga terjerat pinjaman ilegal.
3. Minimnya dana darurat
Riset mencatat lebih dari 60 persen anak muda termasuk Gen Z tidak memiliki dana darurat. Kurangnya kesadaran mengenai pentingnya pos dana darurat ditambah kemudahan transaksi digital membuat pengeluaran sulit terkendali.
4. Perbedaan sikap berdasarkan pendapatan
Penelitian di Indonesia mengungkap pandangan terhadap utang berbeda tergantung penghasilan. Gen Z dengan pendapatan di atas Rp10 juta cenderung lebih toleran terhadap utang, sementara yang berpenghasilan rendah lebih memilih menghindarinya karena takut terjebak dalam jeratan utang.
Baca juga: Alasan Gen Z lebih suka chatting daripada telepon, Ini penjelasannya
5. Realitas global bantuan keluarga dan soft saving
Secara global, banyak Gen Z yang masih bergantung pada dukungan orang tua karena biaya hidup yang tinggi. Survei menyebut hampir setengah dari kelompok ini masih mengandalkan bantuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Namun di sisi lain, muncul tren soft saving, yaitu upaya menyeimbangkan antara menikmati pengalaman seperti bepergian dengan pengelolaan anggaran yang ketat tanpa harus berutang. Beberapa Gen Z juga mulai terbuka membicarakan soal utang di media sosial dan mendapat dukungan melalui komunitas atau layanan konseling kredit.
Secara keseluruhan, Gen Z memang rentan terlilit utang akibat gaya hidup tinggi dan akses mudah ke layanan kredit. Kemudahan memperoleh pinjaman digital, ditambah dorongan untuk mengikuti tren, membuat sebagian anak muda sulit mengendalikan pengeluaran.
Meski begitu, sebagian di antaranya sudah mulai menerapkan strategi cerdas seperti soft saving, transparansi finansial, dan dukungan keluarga. Langkah ini menjadi cara efektif agar mereka lebih bijak mengatur keuangan sekaligus terhindar dari jeratan utang.
Baca juga: Alasan Gen Z lebih proper pilih Paylater dibanding kartu kredit
Baca juga: 8 hobi ala Gen Z yang berpotensi hasilkan uang jajan harian
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.