TEMPO.CO, Jakarta - Organisasi non-pemerintah Imparsial mencatat 13 kasus pelanggaran hak atas kebebasan beragama atau berkeyakinan (KBB) di Indonesia selama periode Desember 2024-Juli 2025. Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra mengatakan kasus-kasus tersebut diperoleh dari hasil pemantauan berbagai sumber media.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Selanjutnya, temuan tersebut dianalisis dan disusun dalam bentuk laporan mengenai situasi dan dinamika pelanggaran KBB di Indonesia.
“Temuan Imparsial memperlihatkan bahwa pelanggaran KBB tidak hanya terkonsentrasi di satu wilayah, tetapi tersebar di sedikitnya lima provinsi berbeda,” kata Ardi dalam diskusi publik ‘Di Bawah Bayang-Bayang Diskriminasi: Janji vs Realita Perlindungan KBB di Indonesia’ dikutip dari keterangan tertulis pada Jumat, 22 Agustus 2025.
Dari total 13 kasus, Jawa Barat menjadi daerah dengan jumlah kasus tertinggi, yaitu sembilan kasus. Menurut Ardi, tingginya kasus di Jawa Barat menunjukkan provinsi ini masih menjadi episentrum persoalan intoleransi dan diskriminasi berbasis agama atau kepercayaan. Sementara itu, empat kasus lainnya masing-masing terjadi di Kalimantan Timur, Riau, Sulawesi Utara, dan Sumatera Barat.
Temuan Imparsial menunjukkan kasus terbanyak adalah pelanggaran hak atas rumah ibadah sebanyak sembilan kasus, disusul hak melaksanakan ibadah sebanyak tujuh kasus. Sedangkan tiga kasus merupakan pelanggaran rasa aman dan hak menyiarkan paham keagamaan.
“Perlu diingat juga bahwa hak atas rasa aman dan hak atas berpikir dan beragama atau berkeyakinan merupakan hak fundamental yang tidak boleh dikurangi atau dicabut dalam kondisi apa pun, bahkan dalam keadaan darurat atau perang,” kata Ardi.
Imparsial juga menemukan pelaku pelanggaran selama periode ini berasal dari aktor negara maupun non-negara. Imparsial mencatat pemerintah daerah dan lembaga formal sebagai pelaku yang dominan dengan catatan sebanyak 7 kasus.
Sementara aktor non-negara meliputi tokoh agama, warga, organisasi masyarakat, hingga perusahaan, dengan 5 kasus yang tercatat. Contoh kasus aktor non-negara seperti terjadi dalam pembangunan musala di Summarecon Bekasi yang ditolak oleh pihak Summarecon Bekasi. Kemudian, kasus penganiayaan di Indragiri Hulu, Riau yang dilakukan oleh teman sekolah korban.
“Selain itu, kelompok rentan, terutama minoritas agama, menjadi korban utama karena posisi sosial, politik, dan kultural yang lemah,” kata Ardi.
Ardi mengatakan, faktor yang membuat situasi KBB di Indonesia semakin terlihat buruk adalah anak-anak–sebagai kelompok rentan harus menjadi korban dari peristiwa yang terjadi. Misalnya, dalam kasus penganiayaan di Indragiri Hulu dan keterlibatan anak-anak dalam persekusi di Padang.
“Fakta bahwa anak-anak turut menjadi korban menegaskan kegagalan negara dalam melindungi kelompok paling rentan dari diskriminasi dan kekerasan berbasis agama atau kepercayaan,” katanya.
Menurut Ardi, dominasi Jawa Barat dalam catatan pelanggaran KBB bukan hal baru. Dalam beberapa tahun terakhir, provinsi ini berulang kali menempati posisi teratas dalam laporan tahunan Imparsial dan berbagai organisasi HAM.
Faktor penyebabnya antara lain kuatnya regulasi daerah yang diskriminatif, tingginya pengaruh kelompok intoleran dalam memengaruhi kebijakan lokal, lemahnya keberpihakan aparat terhadap kelompok rentan, serta rendahnya komitmen negara dalam menyediakan akses pemulihan bagi korban.
Ardi mengatakan situasi ini menandakan adanya masalah struktural yang tidak terselesaikan, yakni pembiaran oleh negara atas masih ada aturan diskriminatif, seperti Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun 2011 tentang larangan aktivitas Jemaat Ahmadiyah.
“Peraturan ini memperuncing sentimen kebebasan beragama atau berkeyakinan serta memperkuat praktik intoleransi di masyarakat Jawa Barat,” ujarnya. “Dampaknya adalah aturan tersebut melahirkan pelanggaran terhadap hak beragama atau berkeyakinan dengan pola keberulangan.”
Imparsial menilai, alih-alih melindungi kelompok rentan, pemerintah daerah kerap berpihak pada kelompok mayoritas dengan dalih menjaga ketertiban umum dan stabilitas sosial. Sehingga praktik politik favoritisme dan lemahnya political will memperkuat diskriminasi.
“Berbagai kasus di Kuningan, Banjar, dan Bogor memperlihatkan pemerintah menggunakan regulasi diskriminatif untuk melarang aktivitas keagamaan atau membekukan pembangunan rumah ibadah, meski sudah ada putusan pengadilan,” kata Ardi.
Ardi juga menyoroti lemahnya penegakan hukum dan pembiaran kasus-kasus intoleransi membuat kelompok rentan mengalami viktimisasi ganda.
Koordinator Sobat KBB, Usama Ahmad Rizal, mengatakan situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan tidak boleh dilepaskan dari perspektif korban. Menurut dia, laporan dan data kuantitatif penting, tetapi yang lebih mendesak adalah memahami bagaimana pelanggaran tersebut berdampak langsung pada kehidupan orang-orang yang menjadi korban.
“Korban pelanggaran KBB tidak hanya kehilangan hak konstitusional untuk beribadah atau membangun rumah ibadah. Mereka juga menghadapi trauma sosial, tekanan psikologis, stigma di lingkungan sekitar, hingga hilangnya rasa aman di ruang publik,” kata Rizal.
Menurut Rizal, dalam banyak kasus korban bahkan dipaksa mengalah demi alasan ketertiban umum. Padahal, ucap Rizal, mereka yang paling membutuhkan perlindungan negara.
Rizal menilai kegagalan negara melindungi korban juga berimbas timbulnya rasa tidak percaya kepada aparat. Oleh karena itu, kata Rizal, negara perlu memastikan bahwa kebijakan maupun tindakan aparat benar-benar berpihak pada korban, bukan pada kelompok mayoritas atau pihak yang melakukan diskriminasi.
Rizal juga mengatakan, meski Jawa Barat memiliki kasus intoleransi tertinggi, di beberapa daerah masih ada contoh baik yang bisa menjadi inspirasi. Di Tasikmalaya, misalnya, rumah duka yang mengalami hambatan bertahun-tahun, akhirnya diresmikan dan digunakan secara terbuka oleh masyarakat lintas agama.
“Praktik ini bukan hanya soal ketersediaan fasilitas, tetapi juga simbol penerimaan, penghormatan, dan solidaritas kemanusiaan lintas iman,” katanya.
Menurut Rizal, inisiatif semacam itu membuktikan bahwa toleransi bukan sesuatu yang mustahil diwujudkan. Ia menuturkan, selama ada kesadaran kolektif, keberanian untuk membuka ruang dialog, serta keberpihakan pemerintah dalam melindungi semua warga negara tanpa diskriminasi, maka praktik baik tersebut dapat diperbanyak di daerah lain.