
PROGRAM makan bergizi gratis (MBG) lagi-lagi kembali menjadi sorotan publik. Alih-alih disambut sebagai kebijakan visioner, program itu justru menuai kritik akibat maraknya kasus keracunan yang menimpa peserta didik di berbagai daerah. Di Kabupaten Bandung Barat, misalnya, ditetapkan status kejadian luar biasa (KLB) terkait dengan kasus keracunan massal peserta didik setelah menyantap hidangan MBG. Belum selesai kasus di Kabupaten Bandung Barat, disusul kejadian serupa di Kabupaten Garut.
Fenomena-fenomena itu semestinya menjadi perhatian serius agar program itu on the track menjadi kebijakan yang berdampak. Tujuan utamanya mulia, yakni meningkatkan kualitas gizi peserta didik, memperbaiki kesehatan generasi muda, sekaligus menopang pembangunan sumber daya manusia Indonesia pada masa depan. Jangan sampai MBG menjadi nestapa bagi anak-anak bangsa.
Namun, di balik visi mulia tersebut, pemerintah tidak boleh abai dan menutup telinga atas berbagai kasus yang cukup mengkhawatirkan dan berbagai kritik yang datang terhadap program MBG itu. Misalnya kritik terhadap menu MBG yang dinilai tidak sesuai dengan prinsip gizi seimbang, bahkan sebagian tempat rawan menggunakan bahan tambahan pangan yang belum tentu sehat.
Selain itu, beberapa pihak pun mengkritik soal jaminan higienitas alat dan dapur MBG. Pasalnya sebagaimana data yang dilansir dari website Kantor Staf Kepresidenan (KSP) (2025), mengutip dari laporan Kementerian Kesehatan per 22 September 2025, tercatat hanya 34 dari 8.583 dapur MBG atau satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) yang memiliki sertifikat laik higiene dan sanitasi (SLHS).
Kondisi itu, jika dibiarkan, tentu dapat mengguncang kepercayaan publik terhadap implementasi program yang seharusnya membawa manfaat besar. Apalagi, MBG menyangkut hajat hidup anak-anak bangsa, yakni keselamatan, kesehatan, dan terpenuhinya gizi anak-anak Indonesia.
Dengan situasi itu, muncul desakan dari berbagai pihak yang meminta agar pemerintah menghentikan sementara, mengevaluasi secara menyeluruh, dan menata ulang pelaksanaan MBG agar tidak sekadar menjadi program populis, tetapi benar-benar berdampak positif bagi kesehatan peserta didik.
TRANSFORMASI MANAJERIAL
Program MBG secara esensial memiliki tujuan yang baik. Oleh karena itu, tidak boleh dihentikan total, tetapi dihentikan sementara untuk mengevaluasi program. Pemerintah perlu mengambil langkah evaluasi menyeluruh agar program itu tepat sasaran, aman, dan berkelanjutan.
Setidaknya ada beberapa hal yang mendesak untuk diperhatikan.
Pertama, evaluasi tata kelola MBG. Pemerintah perlu menghentikan sementara pelaksanaan MBG untuk dilakukan evaluasi menyeluruh. Tata kelola distribusi, mekanisme pengadaan, hingga pemantauan harus diperbaiki agar tidak menimbulkan kerugian bagi peserta didik.
Kedua, mengedepankan quality control yang ketat. Setiap penyedia makanan wajib memiliki sertifikat higienis dan kelayakan sesuai dengan standar keamanan pangan. Lebih dari itu, standar kebersihan, gizi seimbang, dan keamanan pangan harus diterapkan secara konsisten. Jangan sampai ada ruang kompromi sebab program itu menyangkut kesehatan dan keselamatan ribuan bahkan jutaan anak.
Ketiga, melibatkan pakar gizi dan kesehatan. MBG tidak bisa hanya dikelola birokrasi. Keterlibatan pakar gizi, pakar kesehatan masyarakat, dan lembaga berwenang menjadi keharusan agar kandungan gizi makanan sesuai dengan standar dan distribusi aman. Tanpa basis keilmuan dari para ahli dan para pakar yang kuat, MBG berisiko besar salah arah.
Keempat, penanganan kesehatan bagi peserta didik yang terdampak. Kasus keracunan makanan tidak boleh dianggap sepele. Pemerintah harus memastikan ada penanganan medis cepat dan dukungan kesehatan berkelanjutan bagi anak-anak yang menjadi korban.
Depankan prinsip utama yang dikemukakan Marcus Tullius Cicero bahwa salus populi suprema lex esto. Artinya, keselamatan rakyat ialah hukum tertinggi. Perlindungan terhadap peserta didik harus menjadi prioritas utama dalam setiap tindakan. Selain itu, transparansi informasi mengenai kasus itu juga penting untuk menjaga kepercayaan publik.
Kelima, sasaran program harus tepat. MBG sebaiknya difokuskan hanya bagi kelompok masyarakat marginal yang benar-benar membutuhkan. Dengan fokus pada kelompok rentan, anggaran negara akan lebih hemat, tepat guna, dan efektif meningkatkan kualitas gizi peserta didik yang rawan kekurangan gizi.
Keenam, pengelolaan berbasis sekolah. Pelaksanaan program dapat diserahkan kepada sekolah dengan melibatkan komite sekolah atau kantin sekolah. Dengan mekanisme itu, kontrol terhadap program menjadi lebih kuat, transparansi lebih terjaga, dan akuntabilitas lebih tinggi dan menghidupkan kantin-kantin sekolah seperti juga dipraktikkan di beberapa negara lain. Tentu pengawasan pemerintah tetap diperlukan, tetapi basis pelaksanaan yang dekat dengan peserta didik akan lebih efisien dan partisipatif.
Berbagai upaya di atas pada dasarnya menjadi upaya evaluasi agar MBG dijalankan dengan penuh kehati-hatian, terukur, transparan, dan sesuai dengan standar kesehatan masyarakat. Apalagi program MBG merupakan kebijakan visioner yang menyangkut masa depan anak bangsa. Namun, tetap tidak berarti membiarkan program berjalan tanpa koreksi.
Pemerintah semestinya segera melakukan evaluasi menyeluruh agar kelemahan yang ada dapat diperbaiki, dari tata kelola, pengawasan mutu, hingga sasaran program yang tepat. Dengan langkah-langkah tersebut, MBG dapat benar-benar menjadi program strategis yang menyehatkan, memperkuat kualitas generasi muda, serta berkontribusi nyata bagi pembangunan nasional.
MENGGERUS ANGGARAN PENDIDIKAN
Salah satu hal mendasar yang harus ditata ulang ialah persoalan pembiayaan MBG yang tidak boleh mengambil alokasi dari 20% anggaran pendidikan dalam APBN. Sebagaimana dilansir berbagai media, alokasi anggaran pendidikan dari APBN 2026 yang sudah disahkan DPR mencapai Rp 769,1 triliun. Namun, hampir 30%-nya, atau sebanyak Rp223 triliun, dipakai untuk program MBG.
Idealnya anggaran pendidikan yang diamanatkan konstitusi difokuskan untuk tujuan utama, yakni pemerataan akses, peningkatan mutu, dan penguatan kapasitas pendidikan nasional. Dana tersebut vital bagi penyediaan sarana-prasarana, peningkatan kualitas guru, dan kesempatan belajar yang merata bagi seluruh anak bangsa.
Jika MBG tetap dibiayai dari pos anggaran pendidikan, dikhawatirkan akan terjadi pengalihan fokus dan penyusutan anggaran bagi kebutuhan inti pendidikan. Hal itu berpotensi melemahkan upaya peningkatan kualitas dan menurunkan daya saing pendidikan kita. Kualitas pendidikan kita akan semakin tertinggal dengan bangsa lainnya.
Oleh karena itu, pendanaan MBG sebaiknya perlu ditempatkan dalam skema khusus di luar anggaran pendidikan, misalnya melalui program kesehatan masyarakat atau jaring pengaman sosial. Dengan demikian, pendidikan tetap berjalan optimal tanpa dikorbankan program nonakademik.
Program MBG tetap bisa hadir sebagai pelengkap yang strategis, tetapi tidak menggerus hak dasar masyarakat atas layanan pendidikan yang berkualitas. MBG ialah program yang perlu didukung semua pihak, tetapi sekali lagi pos anggarannya tidak dari anggaran pendidikan. DPR dan pemerintah sejatinya menavigasi sistem penganggaran pendidikan yang baik, proporsional, dan profesional.