PADA 15 Agustus enam dekade lalu, Indonesia menandatangani perjanjian New York dengan Belanda. Kesepakatan ini menghasilkan persetujuan bahwa Belanda menyerahkan Papua Barat ke Indonesia, pascakemerdekaan 1945 wilayah paling timur nusantara ini menjadi sengketa.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Kesepakatan antara Belanda dan Indonesia ini diinisiasi oleh Amerika Serikat di Markas Perserikatan Bangsa-bangsa, New York.
Selain itu, isi perjanjian New York ini juga mencantumkan penentuan status Papua. Mekanisme ini dilakukan melalui Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera, di mana warga Papua diberikan kesempatan untuk memilih apakah ingin bergabung dengan Indonesia atau merdeka.
Pepera dilaksanakan pada Juli 1969. Mekanisme yang ditempuh dengan satu orang satu suara. Namun, hanya ada 1.025 orang yang berhak menentukan nasib Papua ke depan dalam pelaksanaan Pepera itu.
Dalam laporan Majalah Tempo edisi 14-20 Oktober 2013, perwakilan warga Papua yang menyumbang suara dalam Pepera itu ditengarai yang kerap menerima bantuan dari pemerintah Indonesia. Walhasil, suara warga Papua yang ingin bergabung dengan Indonesia lebih banyak dalam Pepera itu.
Kini sudah 63 tahun berselang perjanjian New York berlalu. Akan tetapi sejumlah warga Papua tetap menolak hasil perundingan yang membuat wilayahnya tergabung dalam Republik Indonesia. Presiden Eksekutif Persatuan Gerakan Pembebasan Papua Barat Menase Tabuni menilai New York Agreement sebagai perjanjian jahat yang pernah terjadi dalam sejarah hidup bangsa Papua.
"Para pihak yang terlibat dalam seluruh proses perundingan telah melecehkan bangsa Papua," kata Tabuni dalam keterangan tertulisnya pada Jumat, 15 Agustus 2025.
Padahal, ujar dia, Papua memiliki hak menentukan nasibnya sendiri untuk merdeka dan berdaulat secara politik. Hasil Pepera yang menyatakan Papua Barat memilih bergabung ke Indonesia dinilai telah membuat masa depan warga Papua menderita.
Dia menyoroti operasi militer dan konflik yang masih terjadi di Papua hingga kini. Tabuni mengatakan ada 75 ribu warga sipil yang masih mengungsi imbas konflik bersenjata di sembilan wilayah Papua.
"Banyak warga sipil, anak-anak, kaum ini di sejumlah daerah telah menjadi korban operasi militer dan kebijakan pemerintahan Indonesia," ujarnya.
Dalam peringatan 63 tahun perjanjian New York, ia menyerukan kepada masyarakat Papua untuk menolak setiap kebijakan Indonesia. Menurut dia, warga Papua siap melakukan aksi protes perlawanan untuk membela harga dirinya.
"Kami juga menegaskan pada momentum 80 tahun Indonesia merdeka, sudah waktunya pemerintah Indonesia, Belanda, PBB, Amerika, dan pemimpin dunia mendorong penyelesaian konflik status politik Papua Barat.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka atau TPNPB-OPM juga menyerukan penolakan hasil perjanjian New York ini. Juru bicara kelompok pro kemerdekaan Papua, Sebby Sambom mengatakan perjanjian New York telah melanggar hak orang asli Papua.
"Kami mendesak PBB, Amerika, Belanda, dan Indonesia perlu mengkaji ulang proses-proses (Pepera) ini," kata dia dalam keterangannya pada Jumat, 15 Agustus 2025.