
LANGKAH Presiden Prabowo Subianto dalam mengambil alih aset dan kekayaan negara dari para pengusaha hitam ibarat aksi Robin Hood dalam versi lain. Jika Robin Hood merampas kekayaan para bangsawan atau penguasa yang korup untuk kemudian membagikan hasil rampasan tersebut kepada rakyat yang tertindas, dalam versi yang berbeda aksi Prabowo mengambil kembali aset dan kekayaan negara dari para pengusaha hitam dan korup untuk dikembalikan ke negara. Aksi Presiden Prabowo layak untuk mendapat apresiasi yang tinggi.
Presiden Prabowo membentuk Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2025. Peraturan itu sedianya bisa menjadi dasar hukum untuk menertibkan kawasan hutan yang disalahgunakan, terutama untuk perkebunan dan pertambangan ilegal. Sampai saat ini, pemerintah telah menguasai kembali 3,4 juta hektare dari target 4 juta hektare lahan sawit ilegal. Lahan-lahan tersebut sebelumnya dibiarkan tetap dikuasai oleh pihak swasta meski melanggar hukum.
Dari luas lahan yang sudah dikuasai oleh negara tersebut, Satgas PKH menyerahkan dan menitipkan kebun sawit kawasan hutan seluas 1,5 juta hektare kepada PT Agrinas Palma Nusantara (Persero). Sementara sisa penguasaan lahan seluas 1,8 juta hektare belum diserahkan karena sedang dalam proses verifikasi.
Berdasarkan Kajian Indikasi Nilai yang dilakukan oleh Ditjen Kekayaan Negara Kementerian Keuangan, Satgas PKH telah berhasil melakukan penguasaan kembali tanah dan kebun sawit dengan indikasi nilai total sekitar Rp150 triliun atau sekitar Rp46,55 juta per hektare.
Tidak sampai disitu, langkah ‘Robin Hood’ Presiden Prabowo menyasar penambangan timah illegal di Bangka Belitung mendapatkan hasil yang tidak kalah besar. Smelter hasil sitaan negara dari kasus korupsi yang terletak di Pangkalpinang, Kepulauan Bangka Belitung, diperkirakan memiliki nilai sekitar Rp300 triliun. Dalam smelter sitaan tersebut terdapat kandungan monasit yang bernilai tinggi. Monasit merupakan logam tanah jarang ikutan yang bernilai tinggi, seperti serium, lantanum, neodimium, itrium, dan praseodimium.
Potensi monasit yang ditemukan di kawasan Bangka Belitung tersebut, satu smelter timah bisa menghasilkan 4.000 ton monasit yang per tonnya bernilai US$200.000. Total yang ditemukan mendekati 4.000 ton monasit. Dari angka tersebut, bisa ditaksir potensi kerugian negara dari enam perusahaan saja bisa mencapai Rp300 triliun. Tentu saja angka ini akan terus bertambah seiring dengan perusahaan tambang ilegal hasil korupsi yang sudah diputus bersalah oleh pengadilan dan disita oleh negara.
Langkah berani Presiden Prabowo tentunya dilakukan secara cermat, terukur, dan memiliki kepastisan hukum. Pemerintah perlu fokus dalam mengambil tindakan penyitaan kebun sawit dan lahan tambang yang bermasalah atau ilegal. Pasalnya, tidak semua kebun masuk kategori ilegal dan berada di kawasan hutan karena telah mengantongi legalitas lengkap, terutama lahan plasma masyarakat. Jangan sampai, tindakan penertiban lahan ini menciptakan ketidakpastian hukum dan justru menimbulkan permasalahan baru di kemudian hari.
KEPASTIAN HUKUM DAN PETA JALAN
Keberhasilan kebijakan penyitaan dan pengelolaan aset pertambangan dan perkebunan oleh negara akan sangat tergantung konsistensi kebijakan dan kepastian hukum dan regulasi. Apalagi, saat ini pemerintah sedang gencar-gencarnya mengundang investor untuk menanamkan modal di Indonesia.
Kelemahan kita selama ini ialah nihilnya kepastian hukum yang mengikat. Bagi para investor, mereka tidak khawatir dengan aturan dan regulasi yang ketat, selama aturan mainnya jelas, konsisten, dan dapat diprediksi. Pekerjaan rumah bagi pemerintah ialah memastikan kebijakan ini merupakan bagian dari kepastian hukum serta membangun tata kelola yang jelas dan tegas.
Langkah selanjutnya yang tidak kalah pentingnya, pemerintah harus segera menyusun peta jalan atau blueprint tata kelola perkebunan dan mineral strategis nasional agar arah kebijakan lebih terukur dan berkeadilan. Desain kebijakan tersebut perlu memuat kejelasan mengenai sistem pembagian hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dan daerah secara proporsional, dibangunnya mekanisme audit transparan atas nilai ekspor, royalti, dan kontribusi penerimaan negara, sistem yang memberikan kesempatan industri kecil dan masyarakat setempat terlibat dalam pengelolaan, serta komitmen membangun industri smelter yang ramah lingkungan dan masyarakat.
NILAI TAMBAH BAGI LINGKUNGAN DAN KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Gerak cepat Presiden Prabowo untuk menyelamatkan aset dan kekayaan negara tidak hanya akan memberikan warning bagi para pengusaha yang sudah merugikan negara, tetapi juga diharapkan bisa menjadi stimulus ekonomi baru, terutama dalam konteks hilirisasi logam strategis. Bahkan, tindakan tersebut bisa menjadi koreksi arah ekonomi sumber daya nasional menuju kedaulatan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Kebijakan ini diharapkan bisa menjadi kebangkitan dan momentum industri hilirisasi logam strategis.
Potensi ini terdapat di Bangka Belitung untuk menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru. Diketahui bahwa lebih dari 90% cadangan timah dan logam tanah jarang (LTJ) Indonesia berada di Bangka Belitung. Namun, selama bertahun-tahun, negara kehilangan potensi penerimaan hingga triliunan rupiah akibat praktik tambang ilegal dan lemahnya tata kelola. Ke depan, Bangka Belitung juga berpeluang menghasilkan devisa yang sangat besar dari ekspor hasil industri hilirisasi logam strategis.
Pemerintah perlu mempersiapkan dengan matang Bangka Belitung untuk menjadi daerah utama penghasil industri timah dan logam tanah jarang ke depannya. Namun, perlu diingat, tidak dalam bentuk ekspor timah dan LTJ mentah, tetapi tentunya setelah diolah dalam industri hilirisasi di dalam negeri. Hal itu sejalan dengan kebijakan pemerintah saat ini untuk mengembangkan industri pengolahan LTJ di dalam negeri demi menciptakan nilai tambah, meskipun masih menghadapi kendala teknologi dan pembiayaan. Potensi ekspor LTJ baru akan terealisasi setelah industri hilirisasi di Indonesia, khususnya di Bangka Belitung, berhasil dikembangkan secara mandiri.
Selain itu, pemerintah perlu segera mengantisipasi dampak negatifnya bagi lingkungan dengan kerusakan ekosistem laut dan darat yang sudah ada, serta dampak sosial seperti pengangguran dan potensi peningkatan kejahatan karena hilangnya mata pencaharian bagi pekerja smelter dan sektor terkait. Pemerintah perlu memastikan bahwa operasional smelter harus mampu mengurangi dampak kerusakan lingkungan dan sosial yang selama ini tidak ramah dipedulikan.
Presiden Prabowo harus membuktikan bahwa langkah Robin Hood yang dilakukan tidak sekadar untuk menyelamatkan kekayaan negara dari pengusaha hitam, tetapi juga memberikan kepastian hukum dan tata kelola serta munculnya harapan bagi lingkungan dan kehidupan masyarakat yang lebih baik ke depannya.