
KETUA Komnas Perempuan Maria Ulfah Anshor mengungkapkan adanya pola kekerasan dan pelanggaran hak perempuan yang konsisten dalam pelaksanaan sejumlah proyek strategis nasional (PSN).
Hal itu disampaikan dalam sidang uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (7/10).
Maria mencatat sepanjang periode 2020-2024, Komnas Perempuan menerima 88 pengaduan terkait konflik sumber daya alam, agraria, dan penggusuran yang berdampak langsung pada perempuan. Dari jumlah tersebut, 11 kasus teridentifikasi berkaitan langsung dengan proyek PSN.
“Sepanjang empat tahun terakhir, kami menerima 88 pengaduan. Dari hasil identifikasi, ada 11 kasus yang secara langsung terkait dengan Proyek Strategis Nasional,” ujar Maria di hadapan majelis hakim MK.
Maria kemudian merinci sejumlah proyek yang berdampak langsung pada perempuan. Di Makassar New Port, misalnya, sekitar 300 perempuan nelayan kehilangan mata pencaharian, dan situasi itu juga memicu peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Sementara di proyek Bendungan Bener, Wadas, Jawa Tengah, 334 petani perempuan kehilangan tanah garapan. Kasus serupa juga terjadi di Bendungan Beino Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), di mana sejumlah perempuan mengalami luka fisik dan sosial akibat tindakan aparat.
“Dalam kasus Bendungan Bener, perempuan kehilangan akses terhadap lahan dan air, yang selama ini menjadi sumber ekonomi keluarga. Di banyak lokasi, perempuan juga mengalami kekerasan fisik dan seksual ketika proyek dipaksakan berjalan,” jelasnya.
Komnas Perempuan juga mencatat kasus di proyek PLTA Poso (Sulawesi Tengah) yang menyebabkan hilangnya akses air bersih bagi perempuan, serta PLTB Oelpuah, Kupang (NTT) yang diwarnai kekerasan seksual terhadap warga perempuan.
Selain itu, Di PT Vale Indonesia, Sulawesi Utara, puluhan perempuan kehilangan sumber air bersih, sedangkan di Merauke, Papua Selatan, perempuan adat kehilangan hutan pangan dan ruang hidup.
“Kasus di Merauke menunjukkan 100% perempuan kehilangan hutan pangan yang selama ini menopang kehidupan keluarga mereka,” tegas Maria.
Kasus serupa juga terjadi di Depok, Jawa Barat, di mana 17 perempuan kehilangan lahan usaha, serta di Mandalika, Nusa Tenggara Barat, yang menyebabkan 70 perempuan kehilangan sumber ekonomi dari usaha rempah.
Selain itu, di Batam (Kepulauan Riau) dan IKN Nusantara (Kalimantan Timur), perempuan mengalami pelecehan verbal dan kehilangan tanah adat.
Maria menilai, pelaksanaan PSN tidak hanya berimplikasi pada pembangunan infrastruktur, tetapi juga menjadi instrumen legal yang menghasilkan bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender (KBG).
“Status PSN sering dijadikan legitimasi untuk mempercepat pembangunan, tetapi di lapangan justru menjadi instrumen legal yang melahirkan kekerasan terhadap perempuan, baik fisik, psikis maupun sosial,” tegasnya.
Ia juga menyoroti bahwa aparat keamanan kerap dikerahkan bukan untuk melindungi warga, melainkan untuk menjaga proyek dan kepentingan investor.
“Dalam hampir semua kasus, aparat hadir bukan untuk melindungi warga, tetapi mengamankan proyek. Sedikitnya 15 perempuan mengalami luka fisik serius, terutama di wilayah Pojoleo, Rempang, dan Wadas,” ungkap Maria.
Maria menekankan bahwa pola kekerasan terhadap perempuan dalam PSN menunjukkan perlunya reorientasi kebijakan pembangunan agar lebih sensitif terhadap hak asasi manusia dan kesetaraan gender.
“Pembangunan tidak boleh berjalan dengan mengorbankan perempuan. Kami mendesak adanya mekanisme pengawasan dan perlindungan yang berpihak pada keadilan gender,” tandasnya. (Dev/P-2)