Jakarta (ANTARA) - Ledakan aktivitas perdagangan digital dalam beberapa tahun terakhir telah mengubah wajah pasar keuangan global.
Aplikasi investasi ritel, deregulasi, dan media sosial kini mendorong munculnya gelombang spekulasi jangka pendek yang mulai mengikis “modal sabar” atau patient capital yakni modal yang bersedia menunggu hasil jangka panjang dan menopang pembangunan sektor riil.
Fenomena yang merebak di Amerika Serikat, di mana investor ritel semakin gemar berjudi di pasar saham, kripto, dan derivatif berisiko tinggi, sebenarnya bukan hanya gejala asing. Indonesia pun mulai merasakan denyut yang sama, di mana perdagangan berbasis emosi dan rumor kian menggeser prinsip investasi yang rasional dan produktif.
Di AS, spekulasi digerakkan oleh akses mudah ke aplikasi seperti Robinhood dan Coinbase. Di Indonesia, cerita serupa terjadi dengan munculnya platform seperti Bibit, Ajaib, Pluang, dan Pintu, yang berhasil menarik jutaan investor muda.
Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menunjukkan bahwa jumlah investor pasar modal Indonesia melonjak lebih dari 600 persen sejak 2018, dengan dominasi generasi Z dan milenial yang kini mencapai sekitar 80 persen dari total investor ritel.
Kenaikan ini pada dasarnya adalah kabar baik karena menunjukkan meningkatnya literasi keuangan dan partisipasi publik dalam pasar modal.
Namun di sisi lain, tingginya minat investasi tidak selalu diiringi pemahaman risiko yang memadai. Survei IDX tahun 2024 menunjukkan bahwa lebih dari separuh investor ritel melakukan transaksi dalam waktu kurang dari satu minggu, sedangkan hanya 20 persen yang memahami konsep valuasi saham.
Ini menandakan pergeseran orientasi: dari investasi produktif jangka panjang menjadi perdagangan spekulatif jangka pendek.
Fenomena ini mirip dengan "demam meme stocks" di AS, ketika investor ritel berbondong-bondong membeli saham tertentu bukan karena kinerja fundamental, melainkan karena tren di media sosial.
Di Indonesia, pola serupa bisa terlihat pada lonjakan harga beberapa saham kecil atau token kripto lokal yang naik tajam tanpa alasan ekonomi jelas, lalu anjlok secara tiba-tiba. Akibatnya, banyak investor pemula kehilangan modal karena terpancing euforia sesaat.
Risiko yang mengintai
Spekulasi tidak hanya menimbulkan kerugian bagi individu, tetapi juga membentuk risiko sistemik bagi perekonomian nasional. Di Indonesia, di mana stabilitas keuangan masih rapuh dan ketimpangan akses modal tinggi, perilaku spekulatif bisa menciptakan gelembung aset (asset bubble) yang berbahaya.
Contohnya, kenaikan tajam harga kripto dan saham-saham berkapitalisasi kecil pada 2021 - 2022 sempat mendorong banyak masyarakat meminjam dana dari pinjaman online atau lembaga keuangan mikro untuk berinvestasi.
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.