
KOMISI Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengajukan sejumlah rekomendasi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) terkait uji materi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.
Komnas HAM menekankan pentingnya agar seluruh norma dalam UU Cipta Kerja, khususnya yang berkaitan dengan proyek strategis nasional (PSN), tetap tunduk pada prinsip negara hukum dan perlindungan hak asasi manusia.
Komisioner Komnas HAM Saurlin P Siagian menyampaikan, MK perlu memastikan agar setiap kebijakan pembangunan tidak melanggar hak konstitusional warga negara.
“MK perlu menegaskan kembali bahwa setiap norma dalam UU Cipta Kerja, terutama yang menyangkut PSN, harus tunduk pada prinsip negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945,” ujar Saurlin dalam sidang uji materi di Gedung MK, Jakarta, Selasa (7/10).
“Norma yang kabur dan membuka peluang penyalahgunaan kewenangan seharusnya dinyatakan inkonstitusional dan perlu dicabut atau ditinjau ulang,” tambahnya.
Saurlin juga menilai bahwa model pembangunan yang diterapkan dalam PSN cenderung eksklusif dan berisiko menimbulkan diskriminasi serta pelanggaran HAM yang berulang.
“Model pembangunan dalam PSN selama ini terlalu eksklusif. Ia menimbulkan diskriminasi, penyalahgunaan kewenangan, dan potensi pelanggaran HAM yang terus berulang.”
Oleh karena itu, Komnas HAM mendorong MK untuk meninjau ulang paradigma pembangunan ekonomi yang lebih berorientasi pada pemerataan dan keadilan sosial.
Dalam rekomendasinya, Komnas HAM meminta agar MK tidak hanya menafsirkan konstitusi secara kaku dan tekstual, tetapi juga secara kontekstual dengan memperhatikan perkembangan zaman dan perlindungan HAM.
“MK diharapkan melakukan penafsiran konstitusi yang progresif, bukan hanya berdasarkan teks, tetapi juga berorientasi pada kemanusiaan, perlindungan HAM, dan keberlanjutan lingkungan,” jelasnya.
Saurlin juga menyoroti adanya kecenderungan dalam UU Cipta Kerja yang memperluas konsep “kepentingan umum” hingga mencakup kepentingan badan usaha.
“Aroma perluasan kepentingan umum hingga mencakup kepentingan badan usaha perlu dinilai ulang. MK harus memastikan kesesuaiannya dengan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,” ungkap Siagian.
“Pembangunan ekonomi tidak boleh dijadikan justifikasi untuk merampas tanah dan ruang hidup masyarakat tanpa mekanisme perlindungan yang memadai,” lanjutnya.
Selain itu, Komnas HAM meminta MK untuk menegaskan pentingnya mekanisme check and balance antara pemerintah dan DPR dalam pelaksanaan proyek strategis nasional, terutama yang berkaitan dengan alih fungsi hutan dan penyesuaian tata ruang.
“Pelaksanaan PSN tidak boleh mengabaikan prinsip pengawasan DPR serta kewajiban penyelarasan dengan rencana tata ruang dan zonasi. Norma yang menghapus mekanisme pengawasan itu seharusnya dinyatakan bertentangan dengan konstitusi,” tegas Saurlin.
Lebih jauh, Saurlin berharap MK mengeluarkan putusan yang tidak hanya bersifat kolektif, tetapi juga memberikan arahan jelas kepada pemerintah dan pembentuk undang-undang untuk memperbaiki regulasi PSN agar lebih manusiawi dan berkeadilan.
“Kami berharap MK tidak hanya membatalkan norma yang bermasalah, tetapi juga menginstruksikan kepada pembentuk undang-undang untuk memperbaiki regulasi agar sesuai dengan prinsip HAM, konstitusi, dan keberlanjutan lingkungan,” pungkasnya. (Dev/P-2)