Jakarta (ANTARA) - Nama Umar Wirahadikusumah, Wakil Presiden ke-4 Republik Indonesia, kembali menjadi sorotan publik setelah kabar duka meninggalnya sang istri, Karlinah Djaja Atmadja pada Senin (6/10) lalu.
Di balik namanya sebagai wakil presiden RI, Umar dikenal sebagai sosok dengan etos kerja tinggi dan dedikasi besar bagi bangsa Indonesia. Untuk mengenalnya, berikut profil lengkap Umar Wirahadikusumah, tokoh militer sekaligus negarawan yang pernah mendampingi Presiden Soeharto dalam memimpin Indonesia.
Profil dan latar belakang pendidikan
Mengutip laman resmi wapresri.go.id, Jenderal (Purn) Umar Wirahadikusumah merupakan Wakil Presiden Republik Indonesia ke-4 yang menjabat pada periode 1983-1988. Dalam masa jabatannya tersebut, Umar mendampingi Presiden Soeharto setelah menggantikan Wakil Presiden ke-3 RI, Adam Malik, pada 11 Maret 1983.
Umar Wirahadikusumah lahir di Situraja, Sumedang, Jawa Barat, pada 10 Oktober 1924. Ia merupakan anak kelima dari pasangan Raden Rangga Wirahadikusumah, seorang Wedana Ciawi, dan Raden Ratnaningrum, putri dari Patih Demang Kartamenda di Bandung.
Dengan latar belakang keluarga bangsawan, Umar kecil tumbuh dalam lingkungan yang disiplin. Namun, setelah ibunya meninggal dunia saat ia masih kecil, Umar diasuh oleh neneknya, Nyi Raja Juwita, di Cicalengka.
Umar menempuh pendidikan di Hollandsch-Inlandsche School (HIS), namun ia belum sempat menyelesaikannya karena neneknya meninggal dunia. Kemudian, Umar pindah ke Ciawi bersama ayahnya sekitar tahun 1928-1929 dan melanjutkan pendidikan dasar di Europesche School (ELS) hingga lulus pada 1942.
Lalu, ia melanjutkan pendidikan menengah di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Di masa itu, Umar juga mengikuti pendidikan militer Jepang di Dai Nippon, Seinenojo, Tangerang selama delapan bulan.
Setelah itu, Umar bergabung dengan Pasukan Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor pada Oktober 1944 selama enam bulan. Keputusannya ini sempat tidak direstui oleh keluarganya.
Setelah Indonesia merdeka, Umar bergabung dengan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang menjadi cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Karier militer dan kiprah di pemerintahan
Karier militer Umar bermula saat berada di PETA sebagai Komandan Peleton di Tasikmalaya, yang kemudian ia dipindahkan ke Pangandaran.
Saat bergabung dengan TKR, ia kembali menjabat sebagai Komandan Peleton Pangandaran, lalu diangkat menjadi Komandan Peleton di Cicalengka pada 1 September 1945.
Pada 1947, Umar menjabat sebagai ajudan Panglima Divisi III Siliwangi di Tasikmalaya, Direktur Latihan Operasi di Garut, serta Komandan Brigade I/II/III di Cirebon.
Setelah perang kemerdekaan, kariernya di TNI Angkatan Darat (TNI AD) semakin meningkat. Ia lama bertugas di Kodam III/Siliwangi (dulu Kodam VI/Siliwangi) dan berperan dalam penumpasan berbagai pemberontakan, seperti Peristiwa Madiun 1948 dan PRRI di Sumatra.
Sebagai Komandan Divisi Siliwangi, Umar juga pernah menjadi ajudan A.H. Nasution, yang saat itu menjabat sebagai Panglima Kodam VI/Siliwangi.
Pada 1959, Umar dipindahkan ke Kodam V/Djayakarta dan menjabat sebagai Komandan Komando Militer Kota Besar (Dan KMKB) Jakarta Raya. Dua tahun kemudian, ia dipercaya menjadi Panglima Kodam V/Djayakarta.
Sebagai Panglima Kodam V/Djayakarta, Umar berperan penting dalam penumpasan Gerakan 30 September (G30S/PKI) pada 1965. Saat itu, ia bertanggung jawab atas keamanan wilayah Jakarta.
Setelah menerima laporan tentang penculikan sejumlah jenderal dan keberadaan pasukan tak dikenal di sekitar Istana Merdeka, Umar mengerahkan patroli dan melaporkan situasi tersebut kepada Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto.
Selain itu, Umar juga mendukung langkah Soeharto untuk mengambil alih komando Angkatan Darat dan menumpas gerakan tersebut.
Bahkan, ketika Presiden Soekarno memanggil Umar ke Pangkalan Udara Halim Perdanakusumah, ia tidak memenuhi panggilan tersebut karena perintah larangan Soeharto. Sebab, Soeharto menilai situasi itu berisiko percobaan pembunuhan terhadap Umar.
Dalam proses pengendalian situasi di Jakarta, Umar membantu Soeharto dengan mengonsolidasikan keadaan. Ia memberlakukan jam malam dari pukul 18.00 hingga 06.00 dan melakukan pengawasan ketat terhadap seluruh surat kabar di ibu kota.
Setelah Soeharto berhasil menstabilkan situasi, Umar pun mendukung pembentukan KAP-GESTAPU.
Atas perannya dalam penanganan G30S/PKI, Umar mendapat kepercayaan besar dari Soeharto. Pada 12 Maret 1965, ia ditunjuk sebagai Panglima Kostrad, kemudian menjabat sebagai Wakil Panglima Angkatan Darat (Wapangad) pada 1967, dan akhirnya menjadi Kepala Staf TNI AD pada 1969 hingga April 1973.
Setelah pensiun dari militer, Umar diangkat menjadi Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama satu dekade (1973-1983). Dalam masa kepemimpinannya, Umar menegaskan bahwa tidak ada satu pun departemen yang bebas dari praktik korupsi.
Atas integritas dan loyalitasnya, Presiden Soeharto menunjuk Umar sebagai Wakil Presiden RI pada 11 Maret 1983. Penunjukan tersebut sempat mengejutkan banyak pihak karena kiprah politik Umar belum sebesar pendahulunya, Hamengku Buwono IX dan Adam Malik.
Selama menjabat sebagai Wapres, Umar dikenal sebagai pejabat yang tegas dan jujur. Ia kerap melakukan inspeksi mendadak, bahkan menyamar untuk meninjau langsung pelaksanaan kebijakan pemerintah di daerah.
Masa jabatannya berakhir pada 11 Maret 1988 dan digantikan oleh Sudharmono. Banyak pihak menyayangkan berakhirnya masa jabatan Umar yang dikenal bersih dan berdedikasi tinggi.
Dalam kehidupan pribadinya, Umar Wirahadikusumah menikah dengan Karlinah Djaja Atmadja pada 2 Februari 1957. Dari pernikahan tersebut, mereka dikaruniai dua anak, yaitu Rina Ariani dan Nila Shanti, serta enam orang cucu.
Penghargaan yang diterima
Sepanjang pengabdiannya bagi bangsa dan negara, Umar Wirahadikusumah menerima sejumlah penghargaan bergengsi, baik dari dalam maupun luar negeri.
Dari pemerintah Indonesia, ia dianugerahi Bintang Mahaputera Adipradana, Bintang Republik Indonesia Adipradana, serta Bintang Dharma, yang merupakan tanda kehormatan tertinggi bagi prajurit dan pejabat negara
Sementara di kancah internasional, Umar juga menerima sejumlah penghargaan prestisius, seperti "Commander of the Legion of Merit" dari Amerika Serikat, "Knight Grand Cross of the Order of Orange Nassau" dari Belanda, "Grand Cross of the National Order of Merit" dari Prancis, dan "Order of National Security Merit – 1st Class" (Tong-il Medal) dari Korea Selatan.
Penghargaan tersebut merupakan pengakuan atas dedikasi, kepemimpinan, dan kontribusi besar Umar terhadap Indonesia serta hubungan diplomatik antarnegara.
Wafat dan penghormatan terakhir
Umar Wirahadikusumah wafat pada 21 Maret 2003 pukul 07.53 WIB di Rumah Sakit Pusat TNI-AD Gatot Subroto, Jakarta Pusat, pada usia 79 tahun.
Ia meninggal setelah menjalani perawatan intensif selama dua pekan akibat penyakit jantung dan paru-paru yang telah dideritanya selama 13 tahun. Umar sempat menjalani operasi bypass jantung di Jerman pada 1989 dan menjalani perawatan kembali pada September 2002.
Jenazahnya dimakamkan secara militer di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata, Jakarta Selatan, pada hari yang sama sekitar pukul 16.00 WIB.
Sementara Istri Umar, Karlinah Djaja Atmadja telah meninggal dunia pada usia 95 tahun pada Senin, 6 Oktober 2025 pukul 04.33 WIB di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto, Jakarta. Karlinah sempat dirawat di ruang CICU dan dimakamkan di TMP Kalibata, berdampingan dengan sang suami.
Baca juga: Politik kemarin, Karlinah wafat hingga Prabowo minta alat steril MBG
Baca juga: Istri wapres ke-4 Karlinah Djaja Atmadja wafat, berikut profilnya
Baca juga: Wapres pimpin upacara militer pemakaman Karlinah Wirahadikusumah
Pewarta: Putri Atika Chairulia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.