Liputan6.com, Jakarta Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) pada 2022 mencatat ada 66.271 kasus baru kanker payudara. Dari angka tersebut tingkat kematian di angka 22.298.
Ketua Kerja Kanker Kemenkes RI, Endang Lukitosari menyebut, mayoritas kasus kanker payudara di Indonesia terdeteksi setelah memasuki stadium lanjut. Kurangnya kesadaran masyarakat untuk skrining jadi penyebab banyak kasus ketahuan saat sudah stadium 3 atau 4/
“Kenapa kok bisa terbanyak? Karena memang kita menemukannya sudah stadium yang lanjut, akhirnya kita perlu melihat kembali bahwa ternyata cakupan skrining masih rendah. Ini ternyata permasalahan yang serius,” jelas Endang dalam acara Forum Jurnalis Kesehatan “Menurunkan Beban dan Angka Kematian Akibat Kanker Payudara: Strategi, Aksi Kolaborasi” pada Senin, 29 September 2025.
Lebih lanjut, Endang mengatakan, masih banyak puskesmas yang belum menetapkan prosedur deteksi dini kanker payudara, yang membuat kondisi ini semakin serius.
Ia pun menyarankan agar deteksi dini kanker payudara bisa dilakukan di tingkat puskesmas.
"Kalau semua puskesmas, semua layanan tingkat pertama melakukan deteksi dini, barangkali menemukan stage awal lebih cepat sehingga tata laksananya bisa lebih cepat, sehingga kematian bisa ditekan,” ujar Endang.
Apakah Tingkat Kematian Akibat Kanker Payudara Bisa Ditekan?
Pada kesempatan yang sama, Direktur Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Siti Nadia Tarmizi menyebut, tingkat kematian akibat kanker payudara bisa ditekan dengan melakukan deteksi dini.
“Angka payudara sebenarnya kalau ditemukan dari stadium dini itu bisa angka survival-nya itu mencapai lebih dari 90 persen,” kata Nadia.
Sayangnya, banyak masyarakat yang masih menunda untuk mendapatkan penanganan yang tepat setelah terdiagnosis. Menurut Nadia, masyarakat cenderung mendahulukan pengobatan alternatif.
Penggunaan obat alternatif masih menjadi tantangan di masyarakat Indonesia. Akibatnya, penanganan yang tepat jadi tertunda.
“Sementara penyakitnya berprogres terus dan akhirnya dia dari yang awalnya stadium 1 mungkin bisa nanti di ujung-ujungan stadium 3,” ujarnya
Selain itu, Endang menyebut, fasilitas kesehatan memegang peran penting dalam menangani kasus ini. Menurutnya, dukungan dari puskesmas untuk menerapkan program deteksi dini bisa bantu tekan risiko kematian.
“Kalau semua puskesmas, semua layanan tingkat pertama melakukan deteksi dini, barangkali menemukan stage awal lebih cepat sehingga tata laksananya bisa lebih cepat, sehingga kematian bisa ditekan,” jelas Endang.
Tingkat Keselamatan Pasien Kanker Payudara Masih Tertinggal dari Negara Lain
Kemenkes RI juga mencatat, angka bertahan hidup pasien kanker payudara di Indonesia (kesintasan) dalam lima tahun terakhir masih rendah dan tertinggal dari negara Asia lainnya.
“Di Indonesia angka kesintasan 5 tahun ini masih berkisar pada 56 persen-an dibandingkan dengan negara maju yang sudah 90 persen. Bahkan India sudah 66 persen tapi kita masih menang karena Afrika Selatan baru 40 persen,” ungkap Endang.
Selain itu, Endang juga mengatakan, kurangnya kesadaran masyarakat akan skrining dini kanker payudaran sebagai salah satu penyebabnya.
Meskipun tren skrining disebut telah menunjukkan peningkatan, tetap hanya sebagian kecil perempuan di Indonesia yang melakukan skrining kanker payudara.
“Angkanya masih kurang dari 30 persen wanita melakukan skrining. Artinya sebenarnya backlog kita 70 persen paling tidak semua wanita di Indonesia pernah melakukan skrining terhadap kanker payudara ini,” ujarnya.
Upaya Penanganan Kasus Kanker Payudara
Menurut Endang, tingginya angka kanker payudara di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, meliputi penanganan yang terlambat, cakupan skrining yang masih rendah, tidak semua puskesmas menerapkan program deteksi dini, hingga layanan paliatif yang masih rendah.
Layanan paliatif merupakan perawatan medis khusus untuk meningkatkan kualitas hidup pasien atau keluarga pasien untuk mengurangi gejala fisik maupun psikologis.
“70 persen kasus kanker datangnya sudah stadium lanjut dan juga waktu tunggu yang panjang sejak didiagnosis sampai mendapatkan terapi definitif ini perlu waktu yang lama yang kemudian menyebabkan tata laksana tertunda,” jelasnya.
Lebih lanjut, Endang menyebut, akses layanan kesehatan belum merata. Menurutnya, upaya telah dilakukan untuk mendorong pembenahan di tingkat puskesmas, agar setiap puskesmas memiliki bisa melakukan skrining untuk kanker payudara.
“Kita melihat kebutuhan bahwa setiap provinsi itu harus minimal memiliki satu rumah sakit tingkat paripurna, kemudian setiap kabupaten/kota minimal harus ada satu rumah sakit tingkat Madya,” ujarnya.