
SETELAH mendapat arahan dari Kementerian Lingkungan Hidup (LH) pada 18 Maret 2025 lalu, Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung memperketat penggunaan teknologi termal dalam pengolahan sampah. Teknologi termal yang dimaksud mencakup tiga metode utama, yaitu insinerator, pirolisis dan gasifikasi, yang kini hanya boleh digunakan dengan standar pengawasan ketat.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung Darto kemarin menyatakan, seluruh peralatan pengolah sampah berbasis termal wajib menggunakan Standar Nasional Indonesia (SNI) terbaru tahun 2023, menggantikan aturan lama yang masih mengacu pada SNI 2017. Pembaruan standar ini penting karena menekankan pada keamanan, efisiensi serta pengendalian dampak lingkungan yang lebih terukur.
“Seluruh alat yang dipasang harus sudah bersertifikat SNI 2023. Sampai saat ini ada delapan unit yang beroperasi dan enam unit lagi segera menyusul. Salah satu yang sudah berjalan adalah di Pasar Gedebage, yang mampu mengolah lebih dari 160 ton sampah per hari,” jelasnya.
Menurut Darto, selain peralatan syarat ketat juga diberlakukan kepada operator dan badan usaha pengelola. Mereka wajib memiliki kode Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) tertentu, serta diwajibkan melakukan pengukuran dan pengendalian polutan secara berkala. Pemkot menilai langkah ini penting agar keberadaan teknologi termal tidak menimbulkan dampak buruk terhadap kualitas udara maupun kesehatan masyarakat di sekitarnya.
“Kami menargetkan kapasitas pengolahan sampah melalui teknologi termal dapat mencapai 300 ton per hari, akhir 2025. Angka ini merupakan titik aman bagi Kota Bandung untuk mencegah tumpukan sampah, yang selama ini masih menjadi masalah klasik di sejumlah kawasan perkotaan,” terangnya.
Daro menambahkan, target 300 ton ini sangat penting karena menjadi batas minimal agar Kota Bandung terhindar dari risiko darurat sampah. Dengan adanya teknologi termal yang lebih terstandar, DLH berharap pengelolaan bisa lebih efisien tanpa menambah beban lingkungan. Namun meskipun begitu, Pemkot Bandung menolak pengelolaan berbasis termal dilakukan dalam skala kecil. Setiap instalasi minimal harus mampu mengolah 10 ton sampah per hari. Dengan demikian, pengawasan teknis maupun dampak lingkungan lebih mudah dilakukan, dan potensi terjadinya praktik ilegal dapat diminimalisir.
“Teknologi termal secara prinsip memang menghasilkan polusi. Namun, dengan regulasi yang ketat dan penggunaan alat bersertifikat, dampak negatif bisa ditekan seminimal mungkin. Pemeirntah memastikan hanya instalasi yang memenuhi standar resmi yang dapat beroperasi. Namanya teknologi termal pasti ada polusi. Karena itu, aturan ini dibuat agar tidak ada pihak yang mengoperasikan secara sembarangan. Kami ingin memastikan pengolahan sampah di Bandung tidak hanya cepat, tapi juga aman bagi Masyarakat,” tandasnya.
Daro melanjutkan, seiring dengan pemasangan tambahan enam unit baru, DLS optimistis kapasitas pengolahan sampah akan meningkat signifikan. Selain Pasar Gedebage, beberapa titik lain juga diproyeksikan menjadi lokasi pengolahan berbasis termal untuk mendukung target 300 ton per hari. Kebijakan ini sekaligus menjadi penegasan sikap Pemkot Bandung pengelolaan sampah harus dilakukan dengan teknologi yang terukur dan ramah lingkungan.
“Kami berharap persoalan sampah di Kota Bandung dapat diatasi lebih sistematis, sambil menjaga keseimbangan antara kebutuhan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan,” sambungnya.