
KOTA Bekasi dikenal sebagai kota industri, padat, dan dinamis. Di balik geliat aktivitasnya yang tak pernah tidur, tersimpan problem klasik yang tak kunjung reda: pengangguran di kalangan muda dan meningkatnya kasus gangguan kesehatan mental.
Dua isu ini ternyata saling terkait, dan diam-diam menggerogoti semangat generasi muda di wilayah urban. Di tengah kenyataan ini, tim dosen dan mahasiswa Instititut Bisnis Muhammadiyah Bekasi beserta Pimpinan Cabang Aisyiyah (PCA) Bekasi Selatan mencoba mengambil langkah berbeda, mereka tidak hanya bicara soal ekonomi, tetapi juga soal hati dan ketenangan pikiran.
“Langkah itu dimulai dari kegiatan sederhana, yakni pelatihan kriya makrame. Ya, keterampilan merangkai tali menjadi karya seni bernilai jual ini ternyata menjadi media yang menyatukan dua hal penting, kemandirian ekonomi dan kesehatan mental,” kata salah satu penerima pendanaan dari kemendiktisaintek untuk skema PMP 2025 dari Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi yang digelar di Gedung Dakwah PCA Bekasi itu, Atika Rahmi, dalam keterangan resmi, Selasa (7/10).
Menurut dia, program ini digagas bersama tim dosen dan mahasiswa dari Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi melalui dana hibah pengabdian masyarakat Kemenristekdikti. Tujuannya sederhana tapi bermakna yakni membangun masyarakat yang produktif sekaligus memiliki keseimbangan emosi di tengah tekanan kehidupan perkotaan.
“Generasi Z menjadi kelompok utama yang disasar dalam program ini. Mereka adalah generasi digital yang cerdas, kreatif, dan adaptif, tetapi juga paling rentan terhadap stres, kecemasan, dan rasa kehilangan arah,” terangnya.
Hidup di tengah arus media sosial yang serba cepat membuat mereka akrab dengan social comparison atau membandingkan diri dengan kehidupan orang lain yang tampak sempurna di layar. Akibatnya, banyak dari mereka merasa tidak cukup baik, tidak cukup berhasil, bahkan tidak cukup bahagia.
“Di sinilah Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi dan Aisyiyah Bekasi Selatan hadir dengan cara lembut tapi menyentuh. Dalam setiap simpul tali makrame, para peserta diajak untuk belajar tentang kesabaran, fokus, dan ketekunan. Aktivitas ini bukan sekadar melatih keterampilan tangan, tapi juga melatih kesadaran diri (mindfulness),” paparnya.
Dua penerima pendanaan dari kemendiktisaintek untuk skema PMP 2025 yakni Reni Novia dan Eva Fauziana. Menurut Eva mengatakan setiap simpul menjadi simbol perjuangan hidup antara lain, butuh waktu, butuh konsistensi, dan hasilnya baru terlihat ketika semua sudah terjalin utuh. Yang menarik, pelatihan ini juga membuka peluang ekonomi baru. Produk makrame yang dihasilkan peserta ternyata memiliki pasar yang luas, mulai dari hiasan dinding hingga gantungan tanaman yang sedang tren di kalangan pecinta dekorasi minimalis.
Dari kegiatan ini, lanjut dia, lahirlah embrio Komunitas Kreatif Aisyiyah Bekasi Selatan yang kini mulai menjual produk buatan tangan dengan nilai ekonomi dan sosial yang tinggi.
Program ini menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan dan generasi muda tidak harus selalu dimulai dari hal besar. Kadang, hal sederhana seperti seutas tali bisa menjadi alat untuk mengikat mimpi dan menenangkan hati. Melalui pelatihan makrame, tim dosen Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi dan Aisyiyah Bekasi Selatan, berhasil membuktikan bahwa kreativitas bisa menjadi terapi, bukan hanya untuk tubuh, tapi juga untuk jiwa. Seutas tali berubah menjadi simbol kekuatan perempuan yang tangguh, sabar, dan mampu menata ulang hidupnya dengan cara elegan.
Dari perspektif sosial, Reni Novia mengatakan kegiatan ini juga memperkuat peran institusi Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi dan ormas Islam Aisyiyah sebagai organisasi perempuan yang adaptif terhadap zaman. Mereka tidak hanya berkutat pada kegiatan dakwah atau sosial tradisional, tetapi juga berinovasi dengan pendekatan psikososial dan ekonomi kreatif. Kolaborasi dengan perguruan tinggi memperkuat kapasitas organisasi dan menciptakan jembatan antara ilmu pengetahuan dan kebutuhan nyata masyarakat.
Lebih jauh lagi, program ini menunjukkan bahwa solusi atas masalah sosial tidak harus selalu datang dari kebijakan besar pemerintah. Perubahan bisa dimulai dari komunitas, dari perempuan-perempuan yang saling menggenggam tangan, berbagi cerita, dan belajar bersama. Ketika satu simpul makrame terikat, satu hati juga terhubung, melahirkan rasa saling percaya dan optimisme baru.