Sidang gugatan praperadilan eks Mendikbudristek, Nadiem Makarim, melawan Kejaksaan Agung (Kejagung), telah masuk tahap pembuktian. Kedua kubu saling beradu pembuktian untuk memenangkan praperadilan tersebut.
Setelah sebelumnya kubu Nadiem yang diberikan kesempatan untuk membawa bukti, kali ini giliran Kejagung selaku Termohon yang menghadirkan pembuktian.
Dalam persidangan di PN Jakarta Selatan, Rabu (8/10), kubu Kejagung menghadirkan ahli hukum pidana dari Universitas Al Azhar Indonesia, Suparji Ahmad.
Sepanjang persidangan itu, sejumlah dalil terkait sahnya penetapan status tersangka terhadap Nadiem pun diungkap Kejagung.
Berikut sejumlah poinnya:
Dalam persidangan itu, Suparji menyebut bahwa putusan MK tidak mengatur secara limitatif jenis alat bukti yang dapat dijadikan sebagai dua alat bukti permulaan dalam penetapan seseorang sebagai tersangka.
"Ahli sebagai ahli yang pernah dihadirkan, apakah diatur secara limitatif dua alat bukti cukup itu harus ini, harus ini, gitu?" tanya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejagung, Roy Riady, dalam persidangan.
"Tentang perlindungan hak asasi manusia, orang ditetapkan menjadi tersangka adalah minimal 2 alat bukti. Itulah putusan MK. Tetapi, MK tidak memberikan tentang jenis alat bukti apa," jawab Suparji.
"Apakah harus saksi, apakah harus surat, apakah harus ahli, apakah petunjuk, ataupun keterangan dan sebagainya. Tetapi, bahwa yang terpenting adalah 2 alat bukti tadi itu. Tidak ada secara limitatif dan imperatif tentang jenis alat bukti apa yang digunakan," lanjut Suparji.
Suparji juga membenarkan bahwa sepanjang ada dua alat bukti permulaan yang relevan, maka penetapan tersangka tersebut dinyatakan sah.
"Jadi putusan MK tidak mengatur secara limitatif jenis alat bukti apa, 2 alat bukti yang cukup itu untuk sebagai menguji praperadilan sah atau tidaknya penetapan tersangka. Begitu ahli, ya?" tanya Roy.
Suparji juga menerangkan bahwa gugatan praperadilan hanya menguji aspek formil dan administrasi. Sementara, lanjut dia, pengujian yang berkaitan dengan pokok perkara yakni untuk melihat seseorang terbukti bersalah atau tidak.
"Apakah ada perbedaan signifikan antara sidang praperadilan dengan sidang materi pokok perkara terkait dengan pembuktiannya? Apa yang membedakannya?" tanya JPU Kejagung, Roy Riadi.
"Perbedaan antara praperadilan dengan persidangan pokok perkara, sepengetahuan ahli, bahwa praperadilan sesuai dengan PerMA 4/2016 adalah menguji tentang aspek formil. Aspek formil adalah berkaitan dengan administrasi, berkaitan dengan prosedur," jawab Suparji.
"Mengingat dalam suatu proses penegakan hukum, aspek substansi, aspek prosedur, dan aspek kewenangan itu harus baik dan benar. Oleh karenanya, untuk memastikan agar prosedur dan kewenangan tadi sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, ada ruang untuk mengontrol melalui mekanisme praperadilan," papar Suparji.
Ia menjelaskan, bahwa objek yang diuji dalam praperadilan yakni penangkapan, penahanan, penetapan tersangka, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan, penggeledahan dan penyitaan plus ganti rugi, serta rehabilitasi atas penghentian penyidikan dan penuntutan.