KOALISI masyarakat sipil menilai Presiden Prabowo Subianto keliru dalam melihat akar persoalan promosi dan mutasi jabatan di internal Tentara Nasional Indonesia (TNI). Gabungan berbagai lembaga non-pemerintah itu berpendapat bahwa permasalahan utama di internal TNI bukan terletak pada sistem senioritas, melainkan politisasi yang kuat di lingkungan militer.
“Persoalan mutasi dan promosi saat ini adalah karena politisasi yang kental di dalam tubuh TNI, bukan soal senioritas,” kata Direktur Imparsial, Ardi Manto Adiputra, dalam siaran pers, pada Selasa, 7 Oktober 2025.
Scroll ke bawah untuk melanjutkan membaca
Imparsial merupakan lembaga non-pemerintah yang bergabung ke koalisi masyarakat sipil tersebut. Lembaga lainnya yang tergabung di koalisi ini adalah De Jure, Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Centra Initiative, dan Raksha Initiative.
Ardi mengatakan saat ini praktik promosi dan mutasi di lingkungan TNI tidak terganggu oleh masalah senior-junior, melainkan adanya campur tangan politik.
Koalisi masyarakat sipil juga menyinggung pidato Presiden Prabowo Subianto di acara peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) ke-80 TNI, dua hari lalu. Presiden Prabowo mengarahkan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto serta kepala staf tiga matra untuk tidak terlalu mempertimbangkan faktor senioritas dalam seleksi kepemimpinan. Prabowo meminta agar promosi jabatan mengedepankan prestasi, pengabdian, dan kecintaan terhadap Tanah Air.
Dalam rilisnya, koalisi masyarakat sipil berpendapat, sejak pemerintahan Presiden Joko Widodo (2014-2024) hingga pemerintahan Prabowo (2024-2029), proses promosi dan mutasi di TNI lebih banyak ditentukan oleh kedekatan politik dengan kekuasaan dibandingkan pertimbangan kompetensi, pengalaman, dan profesionalisme. Koalisi menilai, sejak awal Presiden Prabowo telah mengabaikan prinsip meritokrasi dan menggantikannya dengan pertimbangan kesetiaan politik.
Mereka mencontohkan kenaikan pangkat luar biasa terhadap eddy Indra Wijaya, yang sekarang berpangkat letnan kolonel. Teddy menjabat Sekretaris Kebinet di pemerintahan Prabowo. Ia awalnya menjadi ajudan Prabowo ketika menjabat Menteri Pertahanan pada 2019-2024, dengan pangkat mayor. Kemudian Teddy menerima kenaikan pangkat menjadi letnan kolonel pada 6 Maret 2025.
Koalisi masyarakat sipil menganggap kenaikan pangkat fantastis terhadap Teddy sudah mengikis prinsip meritokrasi dan memperkuat praktik politik dalam tubuh TNI. “Promosi dan mutasi cenderung hanya terjadi pada mereka yang memiliki akses politik dan ekonomi pada kekuasaan. Sementara perwira yang tidak memiliki akses politik kesulitan mendapatkan promosi meskipun berprestasi,” kata Ardi Manto Adiputra.
Menurut koalisi, praktik promosi dan mutasi tersebut mengakibatkan perwira senior dengan pengalaman dan rekam jejak baik sulit naik jabatan. Sedangkan perwira junior yang dekat dengan kekuasaan memperoleh kenaikan pangkat lebih cepat.
Mengenai kenaikan pangkat Teddy itu, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat Brigadir Jenderal Wahyu Yudhayana pernah menjelaskan bahwa kenaikan pangkat Teddy itu sudah sesuai dengan Undang-Undang TNI.
“(Kenaikan pangkat) itu sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku di TNI dan dasar perundang-undangan, secara administrasi juga semua sudah dipenuhi,” kata Wahyu, pada Kamis, 6 Maret 2025, seperti dikutip dari Antara.
Keniakan pangkat Teddy tertera dalam Surat Perintah Nomor Sprin/674/II/2025. Surat perintah itu mengurai pertimbangan kenaikan pangkat Teddy, yaitu Peraturan Panglima TNI Nomor 53 Tahun 2017 tentang Penggunaan Prajurit TNI, Peraturan Panglima TNI Nomor 87 Tahun 2022 tentang Kepangkatan Prajurit TNI, Peraturan Kepala Staf AD Nomor 21 Tahun 2019 tentang Kepangkatan Prajurit TNI AD, Keputusan Kasad Nomor Kep/462/VIII/2021 tentang Petunjuk Teknis Pembinaan Karier Perwira TNI AD, dan pertimbangan pimpinan Angkatan Darat.
Koalisi masyarakat sipil juga menyoroti kenaikan pangkat luar biasa kepada perwira maupun purnawirawan bermasalah, termasuk yang diduga terlibat kasus pelanggaran hak asasi manusia berat masa lalu.
Mereka menyebut Presiden Prabowo menerapkan kontrol sipil subjektif, bukan kontrol sipil objektif. Kontrol sipil subjektif mengandalkan loyalitas personal kepada pemimpin politik. Sedangkan kontrol sipil objektif menekankan pembagian otoritas dan keahlian yang jelas antara sipil dan militer. Mereka menilai praktik kontrol subjektif itu merusak profesionalisme TNI dan mengaburkan fungsi institusi pertahanan negara.
Selanjutnya, koalisi masyarakat sipil juga mengkritik kontradiksi antara amanat Presiden Prabowo dan kebijakan revisi Undang-Undang TNI. Hasil revisi Undang-Undang TNI justru memperpanjang masa pensiun perwira tinggi sehingga membuka ruang bagi perwira senior untuk bertahan lebih lama di jabatannya. Perpanjangan usia pensiun ini akan berimbas pada mandeknya promosi jabatan dan menumpuknya perwira TNI di level tertentu.
Berdasarkan berbagai persoalan tersebut, koalisi masyarakat sipil mendesak agar pemerintah mengembalikan prinsip meritokrasi dalam sistem promosi dan mutasi jabatan di TNI. “Hal ini penting untuk menghindari kontestasi internal prajurit, menjunjung konstitusi, serta menghormati hukum dan hak asasi manusia,” kata Ardi Manto Adiputra.
Tempo telah berupaya meminta tanggapan Sekretaris Kabinet Teddy Indra Wijaya dan Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari ihwal berbagai kritikan koalisi masyarakat sipil tersebut. Tapi keduanya belum membalas pertanyaan yang diajukan kepadanya hingga berita ini ditulis.