
PERANG yang menghancurkan di Gaza kini memasuki tahun ketiganya, menjadikannya konflik terpanjang yang pernah dijalani Israel sejak perang 1948, ketika negara itu berdiri. Serangan udara dan darat tanpa henti telah menewaskan lebih dari 67.000 warga Palestina, sebagian besar adalah warga sipil.
Data menunjukkan, sekitar 10% dari populasi Gaza menjadi korban tewas atau luka-luka akibat agresi militer ini.
Lebih dari 67.000 warga Palestina tewas dan 168.000 lainnya luka-luka akibat serangan Israel di Jalur Gaza. Sebagian besar korban adalah anak-anak dan perempuan, dengan sedikitnya 20.000 anak-anak terbunuh, sekitar 2% dari populasi anak Gaza.
Banyak korban lain meninggal akibat kelaparan, kekurangan obat, dan penyakit menular. Sebuah studi dari The Lancet melaporkan bahwa harapan hidup di Gaza turun hingga 50% hanya dalam satu tahun perang.
Kehancuran dan Pengungsian Massal
Kampanye militer Israel menghancurkan 436.000 rumah atau 92% dari total bangunan tempat tinggal di Gaza. Sekitar 2,1 juta warga, 95% populasi, kini mengungsi, banyak di antaranya hidup di tenda darurat tanpa akses air bersih maupun sanitasi.
Hampir 80% wilayah Gaza kini berada di bawah perintah evakuasi militer Israel atau zona tempur aktif. Menurut UNICEF, banyak keluarga yang telah kehilangan segalanya, dipaksa mengungsi berkali-kali di tengah reruntuhan kota yang porak-poranda.
Pendidikan yang Lumpuh Total
Lebih dari 518 sekolah hancur atau rusak, termasuk 90% fasilitas pendidikan dasar dan menengah. Sebanyak 745.000 pelajar dan mahasiswa kehilangan akses pendidikan selama lebih dari dua tahun akademik. Banyak sekolah milik UNRWA kini dijadikan tempat penampungan darurat dan menjadi sasaran serangan udara Israel.
Krisis Rumah Sakit dan Tenaga Medis
Sejak perang dimulai, lebih dari 1.700 tenaga kesehatan tewas dan 654 serangan terhadap fasilitas medis tercatat. Dari 36 rumah sakit di Gaza, hanya 14 yang masih beroperasi sebagian. Kapasitas tempat tidur mencapai 300% di rumah sakit al-Ahli dan 240% di al-Shifa.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 700 serangan terhadap fasilitas medis hingga pertengahan 2025, yang menewaskan 917 orang. Kekurangan obat, listrik, dan alat medis menyebabkan banyak pasien meninggal akibat penyakit yang sebenarnya dapat diobati.
Kelaparan dan Krisis Pangan
Sejak Maret hingga Mei 2025, Israel memberlakukan blokade total bantuan kemanusiaan ke Gaza, mengklaim Hamas menyalahgunakan bantuan. Akibatnya, famine (kelaparan massal) diumumkan oleh PBB pada Agustus 2025.
Menurut laporan, lebih dari 400 kematian akibat malnutrisi telah terjadi, termasuk 101 anak-anak. Kini, lebih dari satu juta warga Gaza tidak memiliki akses terhadap air minum layak sebanyak enam liter per hari.
Harga pangan melonjak tajam, sementara banyak bantuan kemanusiaan diserbu warga kelaparan atau hancur dalam serangan udara. Israel membantah membatasi pasokan bantuan, menuduh kesalahan logistik dari lembaga kemanusiaan dan penjarahan oleh kelompok bersenjata.
Kehancuran Lingkungan
Perang juga menghancurkan 97% lahan pertanian Gaza. Hanya 1,5% area lahan yang kini masih bisa ditanami. Polusi tanah dan air akibat residu bahan peledak dan logam berat mengancam kesehatan jangka panjang penduduk.
Menurut laporan PBB, kerusakan ekosistem di Gaza “akan meninggalkan warisan kehancuran lingkungan yang berdampak selama beberapa generasi.”
Tuduhan Genosida dan Respons Internasional
Pada September 2025, pakar independen PBB menyatakan bahwa tingkat kematian dan kehancuran di Gaza memenuhi kriteria genosida. Israel membantah tuduhan tersebut, menyebut operasi militernya sebagai upaya membasmi Hamas. Namun, data intelijen militer Israel sendiri bocor dan menunjukkan bahwa lebih dari 80% korban tewas adalah warga sipil.
Kesimpulan
Perang Gaza yang telah berlangsung tiga tahun ini bukan sekadar konflik bersenjata, melainkan bencana kemanusiaan dan ekologis terbesar abad ke-21. Dengan jutaan pengungsi, puluhan ribu anak-anak tewas, dan wilayah yang hancur total, dunia kini menghadapi tantangan moral: bagaimana memulihkan kehidupan di Gaza dan memastikan tragedi ini tidak terulang kembali. (The Guardian/Z-10)