
KRISIS politik dan pemerintahan di Prancis berubah secara tak terduga ketika sekutu Presiden Emmanuel Macron menentang dan menyerangnya.
Edouard Philippe, perdana menteri pertama dan mantan sekutu Presiden Emmanuel Macron, Selasa (7/10), mendesak Macron untuk mengundurkan diri dalam sebuah seruan mengejutkan yang memperdalam krisis politik yang makin parah.
Intervensi oleh Philippe, perdana menteri terlama Macron dari 2017 hingga 2020 yang kini memimpin partai politik sekutu, muncul di tengah meningkatnya rasa frustrasi bahkan di dalam kubu presiden sendiri atas krisis politik domestik terbesar dalam delapan tahun masa jabatannya.
Perdana Menteri (PM) Sebastien Lecornu, yang diangkat kurang dari sebulan lalu, mengundurkan diri pada Senin (6/10) pagi setelah gagal menggalang dukungan dari koalisi kanan-tengah untuk pemerintahan barunya, yang juga hanya didukung oleh minoritas di parlemen.
Macron kian di bawah tekanan setelah Lecornu menjadi PM Prancis ketiga yang mengundurkan diri tahun ini.
Macron memerintahkannya untuk melakukan upaya terakhir guna menggalang dukungan bagi pemerintahan koalisi. Namun tidak ada tanda-tanda kemajuan, bahkan sayap kanan ekstrem menolak menghadiri pertemuan.
Pemilihan presiden Prancis berikutnya, yang dijadwalkan berlangsung pada tahun 2027, dipandang sebagai persimpangan bersejarah dalam politik Prancis, dengan sayap kanan ekstrem Prancis di bawah Marine Le Pen merasakan peluang terbaiknya untuk merebut kekuasaan.
Macron secara konstitusional dilarang mencalonkan diri untuk masa jabatan ketiga.
Philippe, yang telah menyatakan akan mencalonkan diri, mengatakan pemilihan umum harus diadakan lebih awal setelah anggaran disahkan, dalam komentar yang digambarkan oleh harian Le Parisien sebagai ‘bom politik’.
Ia mengatakan Macron harus membantu Prancis keluar secara tertib dan bermartabat dari krisis politik yang merugikan negara.
"Ia harus mengambil keputusan yang sesuai dengan fungsinya, yaitu menjamin kelangsungan lembaga-lembaga dengan meninggalkan jabatannya secara tertib," ujar Philippe kepada penyiar RTL.
Prancis telah terkurung dalam krisis politik sejak pertaruhan Macron untuk menyelenggarakan pemilihan legislatif pada musim panas 2024 menjadi bumerang, mengakibatkan parlemen yang tidak seimbang dan menguatnya kubu sayap kanan.
Dalam editorial yang pedas, harian Le Monde mengatakan bahwa krisis tersebut merupakan satu lagi bukti kehancuran masa jabatan kedua Macron sejak ia memenangi pemilihan presiden 2022.
"Presiden berada dalam krisis besar," demikian bunyi editorial tersebut.
Keterasingan Macron di dalam negeri, yang terekam kamera pada Senin (6/10) sedang berjalan sendirian di tepi Sungai Seine, asyik berbincang melalui telepon, kontras dengan visibilitasnya di panggung internasional, di mana ia berupaya mengakhiri invasi Rusia ke Ukraina bersama Presiden AS Donald Trump. (France24/B-3)