
PENGADILAN Negeri Jakarta Pusat Kelas IA Khusus menggelar sidang pembuktian pokok perkara dugaan korupsi yang menyeret sejumlah pihak terkait pembiayaan ekspor Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Kasus ini menjerat tiga terdakwa dari PT Petro Energy, yakni Newin Nugroho (Direktur Utama), Susy Mira Dewi Sugiarta (Direktur Keuangan), serta Jimmy Masrin (Presiden Direktur PT Caturkarsa Megatunggal sekaligus Komisaris Utama PT Petro Energy).
Sidang yang berlangsung pada Senin, (6/10) ini menghadirkan enam saksi, di antaranya Dwi Wahyudi dan Arif Setiawan, mantan direktur pelaksana LPEI, serta sejumlah pejabat dan analis risiko lembaga tersebut.
Mantan Direktur Pelaksana LPEI, Arif Setiawan, memberikan keterangan kepada majelis hakim bahwa selama masa jabatannya, PT Petro Energy (PT PE) selalu lancar dalam menjalankan kewajiban pembayaran kredit. “Selama saya menjabat hingga pensiun, PT PE selalu lancar dan tidak pernah ada tunggakan,” ujar Arif.
Ia menambahkan bahwa rekam jejak pembayaran yang baik menjadi pertimbangan utama LPEI dalam memberikan perpanjangan fasilitas pembiayaan kepada PT PE. “Track record nasabah adalah hal penting yang pasti menjadi bahan evaluasi,” tambahnya.
Arif menyatakan bahwa seluruh proses analisis risiko dilakukan oleh unit terkait sebelum sampai ke level direksi. “Kalau dari bawah sudah oke, saya juga oke,” ujarnya menekankan bahwa proses pengambilan keputusan dilakukan secara berjenjang.
Ia juga menjelaskan, LPEI memiliki tantangan dalam mencari nasabah, termasuk keterbatasan debitur yang benar-benar bankable dan visible. “Salah satu yang menjadi pertimbangan adalah reputasi Grup Pak Jimmy Masrin (JM) yang dikenal baik di dunia perbankan,” katanya.
Terkait jenis jaminan yang biasa diterima oleh LPEI, Arif menyebutkan bentuknya dapat berupa aset, persediaan (inventory), piutang (receivable), maupun corporate guarantee. “Untuk corporate guarantee, yang dilihat adalah reputasi dan kredibilitas pihak penjamin,” ujarnya.
KAPASITAS PROFESIONAL
Dalam kesaksiannya, Mantan Kepala Departemen Pembiayaan LPEI, Muhammad Pradithya, menegaskan bahwa upayanya memperkenalkan PT Petro Energy ke LPEI dilakukan sepenuhnya dalam kapasitas profesional. Menurutnya, langkah tersebut merupakan bagian dari strategi memperluas basis pembiayaan korporasi nasional, termasuk Grup Lautan Luas,
bukan karena adanya intervensi dari pihak manapun.
“Saya memang mencari PT Petro Energy karena itu bagian dari target saya untuk membawa Grup Lautan Luas sebagai nasabah LPEI,” ujar Pradithya. “Tidak ada inisiasi atau permintaan dari Pak Jimmy Masrin (JM) untuk mendapatkan pinjaman.”
Dalam sidang, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyinggung adanya pertemuan antara Direktur Pelaksana I LPEI Dwi Wahyudi, Newin Nugroho, dan Jimmy Masrin di salah satu restoran di kawasan Slipi, Jakarta. Dwi Wahyudi disebut sempat menyampaikan dukungan pembiayaan bagi PT Petro Energy senilai sekitar Rp1 triliun dan diakhiri dengan jabat tangan.
Namun, Pradithya menegaskan bahwa peristiwa tersebut bukanlah bentuk persetujuan kredit resmi, melainkan komunikasi awal yang bersifat informal. “Jabat tangan itu hanya simbol sebagai budaya timur, bukan dasar hukum kesepakatan untuk pemberian pinjaman,” tegasnya.
Ia menambahkan, seluruh proses tetap berjalan sesuai mekanisme formal melalui penyusunan Memorandum Analisis Pembiayaan (MAP), yang memerlukan waktu sekitar empat bulan serta melibatkan beberapa unit penelaah dan komite risiko di LPEI.
Kesaksian serupa juga disampaikan oleh Kemas Endi Aryo Kusumo, Relationship Manager LPEI yang menegaskan bahwa proses pemberian fasilitas kredit kepada PT PE telah melalui tahapan verifikasi berlapis. “Tidak ada prosedur yang dilanggar. MAP kami susun secara berjenjang dengan beberapa lapisan review, analisis kelayakan, review risiko, dan rekomendasi komite pembiayaan,” ujar Kemas.
Kemas menambahkan, nilai pembiayaan sebesar USD 22 juta dihitung berdasarkan kontrak penjualan minyak antara PT PE dengan PT Apex Indopacific dan PT Hokari Linex, dikalikan dengan harga pasar serta asumsi perpanjangan kontrak hingga 2018. Selama periode 2015–2017, pembayaran kredit juga dikatakan berjalan lancar tanpa keterlambatan. “PT PE rutin menyampaikan laporan keuangan triwulanan dan tahunan yang diaudit,” tambahnya.
TANGGAPAN PENASIHAT HUKUM
Soesilo Aribowo, selaku Penasihat Hukum Terdakwa III Jimmy Masrin, menegaskan bahwa kliennya tidak pernah menerima aliran dana pinjaman secara pribadi. Ia menyebut dakwaan JPU yang membebankan kerugian negara kepada Jimmy tidak berdasar, karena seluruh proses pembiayaan telah dijalankan sesuai prosedur oleh pejabat berwenang di LPEI.
Menurutnya, penyusunan Memorandum Analisis Pembiayaan (MAP) telah dilakukan sesuai tugas pokok dan fungsi, termasuk penerapan prinsip know your customer (KYC) sebagai mana ada di Peraturan Menteri Keuangan dan Peraturan Internal LPEI.
"Semua proses sudah berjalan sesuai ketentuan. Tidak ada satu rupiah pun dana pinjaman yang masuk ke rekening pribadi Pak Jimmy, seluruhnya digunakan untuk kepentingan perusahaan,” ujar Soesilo.
Ia juga menjelaskan bahwa pinjaman tambahan senilai Rp400 miliar merupakan bagian dari fasilitas pembiayaan resmi dan sah. Saat perusahaan mengalami kendala pada 2016, utang tersebut telah direstrukturisasi melalui mekanisme PKPU, dan diambil alih oleh PT Pada Idi serta PT Caturkarsa dengan kesepakatan pembayaran senilai US$60 juta, dengan sisa US$30 juta masih berjalan lancar hingga 2028 tanpa tunggakan. “Kalau cicilan masih berjalan dan kreditnya current, di mana letak kerugiannya?” tegas Soesilo.
Ia menambahkan, tudingan bahwa pemberian kredit dipengaruhi hubungan pribadi dengan Jimmy Masrin tidak relevan, karena kepemilikan sahamnya di PT Caturkarsa sangat kecil dan tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan pembiayaan. (E-2)