Jadi intinya...
- Film Grave of the Fireflies akan tayang terbatas di bioskop Indonesia mulai 29 Agustus 2025.
- Kisah ini mengikuti perjuangan pilu kakak beradik Seita dan Setsuko korban Perang Dunia II di Jepang.
- Berdasarkan kisah nyata, film ini diakui kritis sebagai mahakarya animasi yang menyentuh hati.
Liputan6.com, Jakarta Salah satu film animasi paling menyentuh sepanjang masa sebentar lagi hadir di layar bioskop Indonesia pada 29 Agustus 2025 mendatang. Film ini cukup menyentuh emosional bagi penonton, melalui narasi anti-perang dari Studio Ghibli. Grave of the Fireflies bukan hanya sekadar film animasi, melainkan potret menyayat hati tentang kelangsungan hidup dua anak kecil di tengah puing-puing Perang Dunia II yang cukup berdampak di Jepang.
Film ini disutradarai oleh Isao Takahata dan pertama kali dirilis pada tahun 1988, namun kekuatannya dalam menggugah perasaan tidak pernah pudar. Cerita diadaptasi dari kisah semi-autobiografi Akiyuki Nosaka yang mengalami sendiri masa-masa sulit selama perang di Jepang. Sosok Seita dan Setsuko menjadi cermin nyata akan dampak perang terhadap anak-anak yang kehilangan segalanya: rumah, keluarga, dan masa kecil.
Kisah ini dibuka dengan adegan memilukan Seita yang meninggal kelaparan di stasiun Kobe, lalu bergerak mundur menampilkan perjuangan mereka sejak kehilangan ibu akibat serangan udara. Penonton diajak menyusuri babak demi babak penderitaan yang seolah tidak ada habisnya, mengajukan pertanyaan besar tentang kemanusiaan, harapan, dan rasa bersalah yang membekas. Berikut selengkapnya, dirangkum Liputan6, Kamis (28/8).
Perjuangan Kakak Beradik Bernama Seita dan Setsuko yang Bertahan Hidup di Tengah Kerasnya Perang Dunia II
Dikutip dari Kapanlagi, setelah serangan udara Amerika menghancurkan kota Kobe dan merenggut nyawa ibu mereka, Seita dan adiknya, Setsuko, terpaksa menghadapi kehidupan yang brutal sendirian. Seita, meski baru berusia 14 tahun, harus merawat Setsuko yang masih kecil dan belum memahami betul betapa gelapnya dunia yang kini mereka tinggali.
Tanpa tempat tinggal yang pasti dan makanan yang layak, mereka menjalani hari-hari dengan penuh perjuangan dan keputusasaan. Mereka terus berjalan dan mencari tempat yang layak untuk berlindung. Perjalanan tersebut dirasakan sangat berat di bawah kondisi fisik dan psikologis keduanya terus merosot. Seringkali keduanya merasakan kondisi kelaparan, penyakit yang silih berganti serta rasa kesepian membayangi dan memperburuk kesehatan.
Dapat Perlakuan Buruk Dari Anggota Keluarga, Kedua Anak Ini Memilih Hidup Sendiri
Setelah kehilangan ibu mereka, Seita dan Setsuko sempat tinggal bersama bibi dari pihak ibu di rumah yang masih utuh dari serangan udara. Awalnya, mereka disambut dengan simpati. Namun semakin lama, sikap sang bibi berubah menjadi sinis dan menyakitkan. Ia menganggap kehadiran kedua anak itu sebagai beban, karena mereka tidak berkontribusi dalam hal ekonomi dan hanya menghabiskan makanan.
Kondisi ini menggambarkan situasi sosial masyarakat Jepang pasca-perang yang penuh tekanan. Banyak keluarga menjadi egois demi bertahan hidup, dan rasa kemanusiaan pun mulai terkikis. Seita yang selama ini sabar akhirnya memutuskan untuk membawa Setsuko pergi dari rumah tersebut hingga pilihan itu menjadi titik balik dalam cerita.
Mereka pindah ke sebuah gua bekas penampungan bom yang sudah ditinggalkan. Di tempat inilah mereka mencoba membangun hidup baru dengan segala keterbatasan. Mereka mengandalkan hasil barter, mencari makanan di alam, dan hidup dari sisa-sisa harapan.
Ciptakan Rasa Trauma dan Sulitnya Hidup di Tengah Perang Dunia II
Film ini tidak hanya bercerita tentang kelaparan dan kehilangan, namun juga mengupas trauma psikologis mendalam yang dialami anak-anak korban perang. Setsuko, yang semula ceria dan penuh harapan, perlahan-lahan kehilangan semangat hidupnya. Ia sering menangis, mengigau, dan merasa bingung ketika lapar. Tubuhnya melemah karena kurang gizi, dan mentalnya hancur akibat kondisi yang terlalu berat untuk ditanggung oleh anak seusianya.
Seita yang menjadi satu-satunya sandaran bagi adiknya pun semakin terpuruk. Ia merasa bersalah karena tak mampu menyelamatkan Setsuko. Meskipun terus berusaha keras mencuri, mengemis, dan mencari makanan, semua usahanya tampak sia-sia di tengah sistem yang sudah runtuh.
Di momen ini, penonton diajak menyelami realitas kejam perang dari sudut pandang yang berbeda. Inilah yang membuat Grave of the Fireflies begitu kuat sebagai kritik sosial, dengan menghadirkan perang bukan sebagai heroisme, tapi sebagai kegagalan terbesar umat manusia.
Pertama Kali Dirilis Pada Tahun 1988
Grave of the Fireflies pertama kali dirilis pada tahun 1988 dan langsung mendapat perhatian luas dari para kritikus film di seluruh dunia. Film ini diangkat dari cerita semi-otobiografi karya Akiyuki Nosaka yang menceritakan pengalamannya selama masa-masa kelam Perang Dunia II di Jepang. Nosaka kehilangan saudara perempuannya karena kelaparan, dan rasa bersalah atas kematian itu menjadi dasar emosional yang kuat dalam penulisan cerpen aslinya.
Isao Takahata sebagai sutradara mengadaptasi kisah ini dengan pendekatan yang sangat humanis dan realistis. Alih-alih menghadirkan aksi atau dramatisasi berlebih, Takahata memilih memperlihatkan realitas kelaparan, kesepian, dan trauma yang dialami anak-anak dalam perang. Film ini diproduksi oleh Studio Ghibli dan menjadi salah satu karya animasi Jepang yang paling dihormati hingga kini.
Karya ini bukan sekadar film animasi, melainkan sebuah dokumentasi emosional tentang dampak perang yang tersembunyi dari sorotan sejarah. Setiap adegan, suara, dan ekspresi karakter dibangun dengan presisi untuk menyentuh hati penonton, menyisakan luka yang tak mudah sembuh bahkan setelah layar bioskop padam.
Tayang di Bioskop Seluruh Indonesia Pada 29 Agustus 2025
Kabar bahwa Grave of the Fireflies akan tayang di bioskop Indonesia pada 29 Agustus 2025 membawa antusiasme tersendiri, terutama bagi para penggemar Studio Ghibli dan pencinta film animasi dengan pesan kemanusiaan mendalam.
Dengan kualitas cerita yang tetap abadi dan pesan yang semakin relevan, G...