Liputan6.com, Jakarta - YouTube baru saja membuka izin bagi pengguna yang diblokir beberapa tahun silam untuk kembali mengakses platform-nya.
Setelah diselidiki, penerapan aturan ini berlaku bagi penyebar konten misinformasi tentang pemilu Amerika Serikat (AS) 2020 dan Covid-19.
Mengutip CNN, Rabu (15/10/2025), awal mula dari kasus ini adalah tekanan politik yang diberikan oleh kubu Demokrat dari mantan Presiden AS, Joe Biden (saat masih menjabat) kepada jajaran perusahaan perangkat lunak dan media sosial, seperti Meta dan Google.
Terkait konteks paksaan di atas, Partai Republik (kubu Donald Trump) menuduh desakan tersebut berfokus pada tindakan sensorhip atau pun menghapus konten yang dirasa bersebrangan atau menyebarkan misinformasi dari sisi Demokrat.
Apa Dampak Bagi Republican?
Selain memberikan paksaan, mereka juga merasa menjadi korban atas hak kebebasan berekspresi pada tahun 2020. Sebab, dengan disensornya konten postingan dari kubu konservatif, suara dan pendapat tidak bisa sampai ke telinga masyarakat.
Para kreator yang ingin dan diizinkan kembali harus membuat saluran (channel) baru. Dalam kanal tersebut, mereka dibebaskan mengunggah ulang konten lama karena aturan sensor dari kubu Presiden Joe Biden sudah dihapuskan.
Kapan Kebijakan ini Diterapkan dan Apa Syaratnya?
YouTube mengumumkan rencana pemberlakuan kebijakan ini sejak bulan lalu. Sekarang, kesempatan tersebut sudah bisa diakses, khususnya bagi akun yang telah dihentikan setidaknya dalam setahun.
Bagi pengguna yang ingin mengunggah ulang konten, langkah pertama adalah masuk (log in) ke akun lama mereka. Setelah masuk, di sana akan muncul opsi untuk mengajukan banding.
Proses peninjauan inilah yang akan mempertimbangkan perilaku sebelumnya dari akun pengguna. Apakah pengunggahan konten lama memenuhi syarat dan ketentuan saat ini.
Jadi, perbedaan utama dalam perizinan yang dicetuskan YouTube, ada dalam kasus pelanggaran dari si pelanggar itu sendiri. Perkara tentang hak cipta dan kebijakan tanggung jawab kreator tetap dilarang sampai saat ini.
Menurut perusahaan, langkah ini ditempuh karena mereka ingin mendapatkan kesempatan kedua dari komunitas. YouTube akan belajar sambil meninjau setiap permintaan yang masuk.
Beberapa tokoh terkemuka yang pernah terdampak aturan lama dari paksaan pembatasan konten, di antaranya akun Senator Ron Johnson dan grup Robert F. Kennedy, Jr.
Tak Hanya YouTube, Meta Ikut 'Putar Balik'
Perubahan kebijkan yang ditempuh oleh Youtube ternyatan bukan satu-satunya di dalam industri media sosial. Perusahaan teknologi lain juga melonggarkan moderasi. Salah satunya Meta yang mengakhiri kemitraan pemeriksa fakta pihak ketiga.
Mengutip CNN, CEO Meta Mark Zuckerberg menyebut langkah ini mencerminkan kebijakan perusahaan yang "kembali ke akar".
Menurut keterangannya, Meta ingin memprioritaskan kebebasan berekspresi di media sosial, meniru langkah serupa yang sedang terjadi di seluruh Silicon Valley.
Upaya Penebusan Kesalahan
Merasa bersalah atas paksaan yang pernah terjadi, YouTube secara khusus mengirim surat ke anggota Kongres dari Partai Republik, Jim Jordan.
Surat itu menyoroti peran suara konservatif di dalam media sosial, karena pendapat mereka dinilai penting dalam wacana sipil di Amerika Serikat.
Selesaikan Perkara Lain Dengan Pemerintah
Masih beririsan dengan kasus pembatasan suara yang dilakukan oleh YouTube atas desakan dari kubu Demokrat, kini mereka harus menerima imbas dari buntut perkara tersebut.
Diwartakan CNBC, Presiden AS saat ini Donald Trump, menggugat YouTube, Facebook, dan X (sebelumnya Twitter) pada pertengahan 2021 setelah akun-akunnya di tiga laman besar itu ditangguhkan karena dianggap berisiko memicu kekerasan.
Buntut dari gugatan Presiden Trump membuat YouTube sepakat membayar USD 24,5 juta atau sekitar Rp 408 miliar untuk menyelesaikan tuntutan tersebut.
Selain YouTube, Meta juga ikut!
Pada Januari, Meta, selaku perusahaan induk Facebook sepakat membayar USD 25 juta atau sekitar Rp 415 miliar. Sebulan kemudian, platform X milik Elon Musk, sebelumnya dikenal sebagai Twitter, juga sepakat menyelesaikan kasus serupa dengan nilai sekitar USD 10 juta atau sekitar Rp 166 miliar.
Namun langkah tersebut menuai sorotan politik, sebab pada Agustus 2025, sejumlah senator Partai Demokrat, termasuk Elizabeth Warren dari Massachusetts, mengirim surat kepada CEO Google Sundar Pichai dan CEO YouTube Neal Mohan.