
PERGERAKAN netizen yang kritis dari pergerakan Peringatan Darurat, Indonesia Gelap, sampai 17 + 8 harus dipahami dengan jernih oleh semua pihak sebagai dinamika yang multidimensi. Pasalnya, terdapat keresahan rakyat yang murni dipicu oleh sejumlah kebijakan yang belum sesuai harapan mereka, namun juga terlihat ada pola dari kekuatan tidak bertanggungjawab yang berupaya menunggangi gerakan rakyat yang murni.
"Social media melahirkan demokratisasi narasi dan membuka ruang partisipasi publik yang belum pernah ada sebelumnya, dan menjadi tempat lahirnya gerakan massa di ranah digital. Hal ini tentu memiliki banyak dampak positif," kata Pakar Strategi Kampanye Digital, Haryo Moerdaning Putro, dikutip dari siaran pers yang diterima, Rabu (8/10).
“Namun dari hasil social media listening, maupun riset yang kami lakukan, tak bisa dipungkiri adanya potensi ancaman dari pihak-pihak tidak bertanggungjawab dengan ideologi radikal yang justru memanfaatkan gerakan rakyat yang murni sebagai Kuda Troya,” tambah dia.
Apalagi, sambung dia, apa yang terjadi di social media itu pasti lebih dari yang terlihat di permukaan. Ia mengingatkan, di balik semua postingan, terdapat kekuatan algoritma pemilik platform, kreator konten dari para influencer besar, influencer mikro, clipper, homeless media, hingga buzzer dan cyber army baik yang organik maupun berbasis mesin yang semuanya bergerak dengan agendanya masing-masing.
“Semuanya ini jika dijahit dengan tepat maka bisa digunakan untuk mengendalikan tren di dunia digital, persepsi netizen, dan pada akhirnya diskursus di tengah masyarakat secara umum. Di tangan yang tepat ini tentu hal yang baik, namun akan sangat berbahaya jika kekuatan ini justru dimanfaatkan oleh pihak-pihak dengan ideologi radikal,” ujarnya.
Menurutnya, hal ini menjadi penting bagi semua pihak untuk melihat situasi terkini dengan jernih dan hati-hati, mulai dari pihak gerakan massa, Pemerintah, aparat penegak hukum, hingga netizen secara umum.
“Gerakan massa yang kritis terhadap Pemerintah harus lebih waspada, jangan sampai gerakan yang murni berlandaskan kepedulian terhadap bangsa dibelokkan oleh pihak tidak bertanggungjawab untuk menciptakan situasi sosial-politik yang tidak kondusif. Begitu pula dengan Pemerintah dan aparat, semuanya harus membangun kapasitas untuk memilah-milah apa yang terjadi di lanskap social media dengan presisi. Tidak semua gerakan yang kritis di social media itu ditunggangi, namun di sisi lain tidak semuanya juga murni,” paparnya.
Namun demikian di tengah dinamika ini, ia berpandangan bahwa kehadiran social media sebagai ruang publik tetap dibutuhkan dan harus terus dirawat secara bersama-sama. Tujuannya agar social media itu sendiri dapat berfungsi optimal sebagai “balai warga” dan ruang demokrasi digital, alih-alih dibajak menjadi pabrik konten radikal dan tempat tumbuhnya paham radikalisme.
Selanjutnya untuk mencapai tujuan tersebut, proses edukasi ke masyarakat tetap harus diperkuat melalui kolaborasi antara Pemerintah, aparat penegak hukum dan pihak terkait lainnya termasuk pemilik platform dan perwakilan netizen secara umum terutama mereka yang memiliki ilmu yang relevan seperti akademisi maupun teman-teman di komunitas agensi digital.
Selain itu, Pemerintah juga harus terus meningkatkan kualitas dan jangkauan komunikasi publiknya. "Karena komunikasi publik yang buruk hanya akan memperbesar ruang fabrikasi dari pihak tak bertanggungjawab. Upaya ini juga harus melibatkan para perwakilan platform global yang ada di Indonesia, bagaimana agar konten radikalisme bisa ditindak tegas tanpa mencederai kebebasan berekspresi. Social media harus dapat berfungsi optimal sebagai “balai warga” dan ruang demokrasi digital yang sehat tempat lahirnya berbagai gagasan, inovasi, dan kemajuan,” tandasnya. (E-2)