
MENTERI Kebudayaan baru-baru ini menegaskan kepulangan ribuan fosil sangat penting bagi identitas Indonesia. Langkah itu menyatukan kembali serpihan sejarah yang hilang dan merupakan bentuk rekonsiliasi atas masa kolonial. Tulisan ini ingin menambahkan bahwa repatriasi itu juga merupakan pengakuan kesalahan Belanda. Selama lebih dari seabad, Belanda menyimpan sebuah harta karun yang hakikatnya bukan milik mereka, baik secara hukum maupun moral.
DASAR HUKUM TAK TERBANTAHKAN
Kisah dimulai dengan Eugene Dubois, seorang dokter Belanda. Ia datang ke Hindia Belanda untuk membuktikan teori evolusi. Dengan dukungan penuh pemerintah kolonial, ia melakukan penggalian di Trinil, Jawa Tengah. Hasilnya ialah temuan spektakuler Pithecanthropus erectus atau 'Manusia Jawa'. Namun, status kepemilikan koleksi itu sejak awal jelas.
Dekrit Gubernur Jenderal 1889 menegaskan fosil yang ditemukan harus 'ditempatkan di bawah Pemerintah'. Dalam konteks ini, 'Pemerintah' merujuk pada pemerintah kolonial di Batavia, bukan Belanda di Den Haag.
Koleksi kemudian dikirim ke Leiden dengan satu syarat penting. Fosil-fosil itu hanya dipinjamkan untuk dipelajari dan dideskripsikan Dubois. Bukan untuk diserahkan secara permanen. Dubois sendiri meninggal pada 1940 tanpa menyelesaikan pekerjaannya. Karena syarat itu tidak terpenuhi, pemindahan kepemilikan ke Belanda pun tidak pernah terjadi.
KERUGIAN ILMIAH INDONESIA
Koleksi Dubois ialah harta yang tak ternilai. Ia terdiri dari banyak holotipe yang menjadi acuan penelitian ilmiah modern. Ukuran, keragaman, dan kualitas spesimennya tidak ada duanya. Para ahli menegaskan ketiadaan koleksi itu telah menghambat perkembangan paleontologi di Indonesia.
Selama puluhan tahun, ilmuwan Indonesia kesulitan mengakses materi fundamental bagi penelitian dan pendidikan mereka. Itu ialah bentuk ketidakadilan epistemik. Sebuah kekosongan yang menghambat pembangunan kapasitas ilmiah bangsa. Padahal, prinsip berbagi pengetahuan secara adil telah diamanatkan dalam Protokol Nagoya dan konvensi internasional lainnya.
LANDASAN MORAL YANG KUAT
Di balik debat hukum, terdapat narasi kelam yang sering diabaikan. Penggalian Dubois didukung sistem kolonial yang opresif. Hingga 50 pekerja paksa (rodi) diterjunkan dalam kondisi yang mengerikan. Dubois sendiri menyebut lokasi penggaliannya sebagai 'neraka Jawa'/Java’s hell.
Sumber-sumber kolonial mencatat para pekerja kerap melarikan diri. Ada yang sakit, bahkan meninggal. Penelitian juga menunjukkan lahan penggalian di Trinil amay mungkin ialah sawah milik masyarakat setempat. Meski peraturan kolonial mengakui hak kompensasi, tidak ada bukti Dubois membayar ganti rugi. Sementara itu, banyak catatan Raden Saleh 30 tahun sebelumnya selalu memberikan kompensasi.
Yang lebih menyentuh, fosil-fosil itu bukanlah benda asing bagi masyarakat lokal. Mereka memiliki pengetahuan tradisional tentang lokasi penemuannya. Sebuah desa bahkan dijuluki 'ladang laga raksasa' karena banyak ditemukan fosil tulang yang sangat besar. Desa lain dijuluki ‘tulang gajah’ karena banyak fosil gajah purba ditemukan. Fosil memiliki nilai spiritual, mitologis, dan ekonomis bagi warga setempat.
Sumber-sumber Belanda mencatat perlawanan halus. Mulai penolakan menunjukkan lokasi, 'pencurian' fosil, hingga lebih memilih menjual fosil temuan ke pedagang Tionghoa. Yang terakhir itu diduga karena ada kompensasi. Semua itu ialah bentuk penentangan terhadap pengambilalihan paksa. Ketika persuasif tidak berhasil, tim Dubois tidak segan menggunakan ancaman dan pemaksaan.
MELAMPAUI KEPEMILIKAN
Repatriasi koleksi Dubois sering dilihat sekadar soal memindahkan benda. Padahal, itu ialah soal mengembalikan narasi. Selama ini, sejarah manusia purba Nusantara lebih banyak ditulis dari perspektif kolonial. Kembalinya fosil itu memungkinkan Indonesia merekonstruksi identitasnya sendiri.
Itu juga soal keadilan restoratif. Bukan hanya untuk negara, melainkan juga untuk masyarakat lokal di Trinil dan banyak tempat penggalian lainnya. Para leluhur merekalah yang dipekerjakan paksa. Lahan merekalah yang digali. Pengetahuan merekalah yang dipakai, tapi diabaikan.
Belanda telah mengakui bahwa pengembalian itu ialah bentuk rekonsiliasi. Sebuah langkah penting untuk membuka lembaran baru hubungan bilateral. Namun, maknanya lebih dalam bagi Indonesia. Itu ialah pemulihan kedaulatan atas warisan sendiri. Baik secara fisik maupun intelektual.
Keputusan repatriasi itu patut diapresiasi. Ia berdiri di atas dua kaki yang kukuh: hukum dan moral. Dari sisi hukum, kepemilikan Indonesia tak terbantahkan. Dari sisi moral, pengembalian ialah koreksi atas ketidakadilan masa lalu.
Kembalinya koleksi Dubois bukan akhir perjalanan. Itu ialah awal dari rekonstruksi identitas ilmiah Indonesia. Sebuah langkah menuju kemandirian dalam meneliti, memahami, dan menceritakan sejarahnya sendiri. Sebuah rekonsiliasi yang tidak hanya memulihkan masa lalu, tetapi juga membangun masa depan.