Liputan6.com, Surabaya Papua menjadi salah satu provinsi dengan prevalensi obesitas tertinggi di Indonesia. Obesitas di Papua mencapai 31,3 persen, membuat provinsi ini menduduki peringkat kedua setelah DKI Jakarta (31,8 persen). Ini diungkap dalam data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023.
Selama ini, pemberitaan terkait Papua umumnya soal malnutrisi atau kekurangan pangan. Namun, data ini menunjukkan bahwa Papua juga menjadi tempat dengan angka obesitas tinggi.
Lantas, apa yang menyebabkan tingginya angka obesitas di Papua?
Menjawab hal ini, Ketua Umum Pengurus Pusat Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) Prof. Dr. dr. Em Yunir, Sp.PD, K-EMD, Finasim., mengatakan bahwa orang Papua memiliki kebiasaan makan karbohidrat yang tinggi.
“Pernah ke Papua enggak? Itu makan karbohidratnya tinggi, talas, ubi, kalau makan tuh banyak, sudah kebiasaan. Dari jenis karbonya, mereka suka makan papeda, sagu (dalam jumlah banyak),” kata Em Yunir kepada Health Liputan6.com saat ditemui di Surabaya, Minggu (24/8/2025).
Ketua Pokja Obesitas PERKENI, Dr. dr. Sony Wibisono, Sp.PD, K-EMD, FINASIM, menambahkan, jika dalam budaya Jawa kebiasaan makan karbo dengan jumlah banyak disebut semego.
“Kalau budaya Jawa ‘semego’, berarti nasinya lebih banyak dari sayur,” ujar Sony.
Muhammad Kenzi Alvaro, balita 16 bulan yang viral akibat bobotnya mencapai 27 kilogram, Jumat (24/02) siang, akhirnya dirujuk ke Rumah Sakit Hermina Kota Bekasi, Jawa Barat. Di rumah sakit, Kenzi akan menjalani observasi terkait kegemukan yang dialam...
Makanan yang Dianggap Sehat
Berbicara soal budaya makan, masyarakat Jawa Barat seperti di Bandung juga kerap memiliki anggapan keliru soal beberapa jenis kudapan.
Misalnya lotek, ini adalah makanan Sunda yang dibuat dengan campuran sayur seperti labu siam rebus, kacang panjang, kangkung, dan lain-lain serta dicampur pula dengan saus kacang.
“Ada lotek ada karedok yang kalau dihitung kalorinya, gula merahnya, kacangnya digoreng dulu jadi dibilang sehat juga enggak,” kata Ketua Pokja Nutrisi PERKENI, Dr. dr. Nanny Nathalia Soetedjo, Sp.PD, K-EMD, M.Kes, FINASIM, DCN., dalam keterangan yang sama.
Maka dari itu, ia menilai pentingnya belajar menghitung kalori agar lebih sadar dalam mengonsumsi makanan.
Bukan Sekadar Masalah Penampilan
Kebiasaan makan tak sehat yang berujung obesitas adalah hal yang perlu dihindari. Pasalnya, obesitas bukan sekadar masalah penampilan, melainkan kondisi medis serius yang meningkatkan risiko diabetes, penyakit jantung, serta gangguan metabolik lainnya.
“Berita baiknya, intervensi yang tepat—dari perubahan gaya hidup hingga terapi berbasis bukti—memberi hasil nyata, bahkan penurunan 5–10 persen berat badan dapat menurunkan penanda peradangan dan meningkatkan fungsi serta kualitas hidup pasien,” kata Clinical, Medical, and Regulatory Director Novo Nordisk Indonesia, dr. Riyanny Meisha Tarliman, dalam kesempatan yang sama.
Obesitas sendiri adalah penyakit kronis yang ditandai dengan peningkatan massa lemak berlebih, yang dapat meningkatkan risiko berbagai penyakit tidak menular dan menurunkan harapan hidup.
Data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan bahwa prevalensi obesitas dewasa meningkat. Prevalensi obesitas nasional pada penduduk berusia ≥ 18 tahun pun mengalami peningkatan. Angka ini naik dari 21,8 persen pada 2018 menjadi 23,4 persen pada 2023.
1 dari 8 Orang di Dunia Hidup dengan Obesitas
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 2022 menunjukkan, 1 dari 8 orang di dunia hidup dengan obesitas.
Secara global, obesitas pada orang dewasa telah lebih dari dua kali lipat sejak tahun 1990, sementara obesitas pada remaja meningkat hingga empat kali lipat.
Pada 2022, terdapat 2,5 miliar orang dewasa (usia 18 tahun ke atas) yang mengalami kelebihan berat badan. Dari jumlah tersebut, 890 juta di antaranya hidup dengan obesitas.
Pada tahun yang sama, 43 persen orang dewasa usia 18 tahun ke atas mengalami kelebihan berat badan dan 16 persen hidup dengan obesitas.