
PENERAPAN manajemen talenta di lingkungan aparatur sipil negara (ASN) pada pemerintah daerah di Indonesia berjalan tidak maksimal. Dua faktor penyebabnya, yakni kemauan kepala daerah yang rendah dan faktor teknis terkait penyediaan sumber daya yang tidak terpenuhi.
Fakta itu terungkap Dari hasil survei nasional terbaru tentang penerapan manajemen talenta di lingkungan pemerintah daerah. Survei dilakukn Lembaga Administrasi Negara (LAN) melalui Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Talenta ASN Nasional (Pusjar SKTAN).
"Pemerintah daerah, baik di tingkat provinsi, kota maupun kabupaten terbentur dengan penyediaan sumber daya untuk melaksanakan talenta managemen. Hambatan lain juga terkait anggaran dan sumber daya manusia, serta terbatasnya sarana dan prasarana untuk melaksanakannya," ujar Koordinator survei, Shafiera Amalia, di Jatinangor, Sumedang, Selasa (14/10).
Di Indonesia, manajemen talenta di kalangan ASN bukan kebijakan baru. Payung hukumnya sudah ditetapkan antara lain dengn Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) dan diperkuat dengan Peraturan Presiden Nomor 81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi, serta Peraturan Menteri PANRB Nomor 3 Tahun 2020 tentang Manajemen Talenta ASN.
Manajemen talenta lemah dalam penerapan, lanjut Shafiera, karena faktor utamanya ialah kemauan pimpinan daerah yang rendah untuk melaksanakannya. Apalagi, kepemimpinan daerah juga terus berubah dalam 5 tahun sekali.
"Kami menyimpulkan bahwa penerapan manajemen talenta di pemerintah daerah, baik pemerintah provinsi, kota dan kabupaten belum optimal. Yang dilakukan saat ini baru berada di level lanjutan atau tahap, belum mengembangkan, apalagi menempatkan ASN," lanjutnya.
Karena itu, tim survei merekomendasikan penguatan pemantauan dan evaluasi penyelenggaraan manajemen talenta oleh Kementerian PAN-RB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN), sebagai pembina penerapan manajemen talenta.
Tanpa arah
Survei Manajemen Talenta ini dilakukan pada 12 Juni sampai dengan 11 Agustus 2025 melibatkan 97 pemerintah daerah dengan margin error 10%.
Lebih jauh Shafiera menyatakan selama lima tahun terakhir, sebagian besar pemda masih fokus pada pembangunan komitmen dan penyediaan infrastruktur dasar, dan melaksanakan akuisisi talenta. Tahapan pengembangan dan retensi talenta justru masih jarang dilakukan.
Dalam kerangka manajemen talenta, terdapat empat tahapan utama yaitu akuisisi, pengembangan, retensi, dan penempatan talenta. Dari keempat tahapan tersebut, dua yang paling tertinggal adalah pengembangan dan retensi.
Sebanyak 97% pemda mengaku belum memiliki strategi retensi yang memadai untuk mempertahankan talenta unggul yang sudah dimiliki.
Penerapan manajemen talenta memerlukan berbagai infrastruktur pendukung, mulai dari standar kompetensi jabatan, sistem penilaian kinerja, basis data SDM, hingga dokumen Human Capital Development Plan (HCDP).
Namun survei menunjukkan bahwa dari sepuluh indikator infrastruktur, tiga yang paling minim adalah road map, jabatan kritikal yang ditetapkan dan anggaran.
“Ketiadaan roadmap, jabatan kritikal dan anggaran menyebabkan menyebabkan pelaksanaan manajemen talenta berjalan tanpa arah yang jelas. Ketiga hal tersebut harus menjadi fokus pembenahan ke depan,” ujar Shafiera.
Selain itu, meskipun 60% pemerintah daerah telah memiliki kebijakan Manajemen Talenta, tapi baru 52% yang menindaklanjutinya dengan proses pemetaan talenta.
Dari angka tersebut, hanya 28% yang telah membentuk kelompok rencana suksesi (talent pool). Bahkan hanya 10% yang memiliki rencana penempatan bagi talenta yang sudah teridentifikasi.
Artinya, sebagian besar talenta ASN masih terparkir tanpa arah pengembangan karier yang jelas.
Data objektif
Salah satu temuan krusial survei adalah lemahnya penilaian kinerja ASN sebagai dasar pengisian talent pool. Sebagian besar daerah belum memiliki mekanisme baku dalam menilai kinerja pegawai.
Akibatnya, penempatan pegawai ke dalam sembilan kelompok talenta (nine-box grid) sering tidak didukung data objektif.
“Padahal, data tersebut penting untuk menentukan siapa yang masuk ke kelompok rencana suksesi (box 7–9) dan disiapkan menduduki jabatan strategis. Tanpa data objektif, sistem merit sulit diterapkan secara konsisten,” ungkap Safira
Dalam aspek pengembangan kompetensi, survei menunjukkan bahwa metode coaching (47%) dan mentoring (48%) menjadi pendekatan paling populer di daerah. Hal ini sejalan dengan arah pengembangan ASN ke depan melalui konsep ASN Corporate University (ASN Corpu) yang digagas LAN.
Melalui pendekatan social learning alias belajar dari rekan, mentor, atau coach dan experiential learning atau belajar dari pengalaman kerja langsung, ASN diharapkan dapat meningkatkan kapasitas tanpa selalu bergantung pada pelatihan formal.
Survei juga menemukan bahwa 45% pemerintah daerah belum menjalankan strategi retensi talenta sama sekali. Padahal retensi merupakan tahapan penting agar pegawai berpotensi tinggi tetap termotivasi dan tidak keluar dari sistem.
Strategi retensi dapat dilakukan melalui rencana suksesi, rotasi jabatan, pengayaan dan perluasan jabatan, serta penghargaan kinerja.
Lebih lanjut, data menunjukkan bahwa 86% pemerintah daerah belum menggunakan data talent pool dalam pengisian jabatan, termasuk jabatan administrasi. Artinya, penempatan talenta belum berjalan optimal dan masih dipengaruhi faktor non-merit.
Tolok ukur birokrasi
Manajemen talenta sendiri merupakan kebijakan strategis dalam pengelolaan ASN berbasis sistem merit, yaitu menempatkan pegawai berdasarkan kompetensi, kinerja, dan potensi, bukan karena kedekatan politik atau hubungan personal. Kebijakan ini menjadi bagian dari reformasi birokrasi nasional untuk mewujudkan birokrasi kelas dunia dan mendukung visi Indonesia Emas 2045.
Kepala Pusjar SKTAN LAN, Riyadi menegaskan bahwa survei ini menjadi tolok ukur penting sejauh mana birokrasi daerah memahami dan menerapkan prinsip meritokrasi dalam pengelolaan SDM.
“Hasil survei ini memperlihatkan bahwa pengelolaan talenta berbasis merit adalah kebutuhan mendesak, bukan sekadar jargon. Pendapat ini bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah karena berbasis data,” ujarnya.
Menurut dia, regulasi adalah fondasi awal komitmen instansi pemerintah dalam menerapkan manajemen talenta. Tanpa regulasi yang kuat, pelaksanaannya hanya akan bersifat parsial.
“Tantangan kita bukan hanya soal aturan, tetapi keberanian untuk mengubah pola lama dalam birokrasi. Jika manajemen talenta tidak dijalankan konsisten, penempatan ASN tidak akan sesuai kapasitasnya. Akibatnya, pelayanan publik stagnan dan sulit beradaptasi dengan perubahan zaman,” tegasnya.
Peringatan dan peluang
Survei ini, lanjut di, sebagai peringatan sekaligus peluang. Di satu sisi, masih banyak pekerjaan rumah untuk memperkuat tata kelola ASN berbasis manajemen talenta. Namun di sisi lain, sudah ada sekitar 60% pemda yang mulai melangkah ke arah yang lebih baik.
Riyadi menambahkan bahwa LAN berkomitmen mendukung implementasi manajemen talenta di seluruh instansi pemerintah melalui kajian kebijakan, asistensi teknis, dan digitalisasi sistem informasi ASN.
“Dengan komitmen pimpinan daerah, dukungan kebijakan nasional, serta sistem yang transparan dan terintegrasi, manajemen talenta ASN bisa menjadi kunci lahirnya birokrasi profesional, adaptif, dan unggul,” tutupnya.
Pusat Pembelajaran dan Strategi Kebijakan Talenta ASN Nasional (Pusjar SKTAN) merupakan unit di bawah Lembaga Administrasi Negara yang berfokus pada inovasi kebijakan dan strategi nasional pengelolaan talenta ASN.
Melalui riset, pembelajaran, dan kolaborasi lintas sektor, Pusjar SKTAN mendorong birokrasi Indonesia menjadi lebih kompetitif, inklusif, dan berdaya saing global