
DUNIA Islam tengah berada di persimpangan sejarah. Genosida dan konflik berkepanjangan di Palestina, gelombang islamofobia di Barat, krisis kemanusiaan di Sudan dan Yaman, hingga tantangan kesenjangan ekonomi dan teknologi di antara negara-negara muslim.
Kita menyaksikan tatanan lama dunia yang tengah runtuh, tetapi tatanan baru dunia yang belum lahir. Situasi itu menuntut respons cermat dan kepemimpinan visioner bunia Islam. Pertanyaannya: apakah saatnya Indonesia ambil kemudi dunia Islam melalui kepemimpinan Organisasi Kerja sama Islam
Organisasi Kerja sama Islam (dahulu bernama Organisasi Konferensi Islam/OKI) ialah organisasi terbesar kedua di dunia setelah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan 57 negara anggota di kawasan Arab, Afrika, Asia, dan Amerika Selatan, mewakili lebih dari 1,8 miliar umat muslim global.
Tidak salah jika kita mengatakan bahwa OKI adalah representasi dunia Islam. Berdiri pada 1969 sebagai reaksi atas pembakaran Masjid Al-Aqsa, OKI menjadikan perjuangan kemerdekaan Palestina sebagai raison d’etre dan konsensus dasarnya. Layaknya organisasi internasional lainnya, OKI sejatinya merupakan organisasi antarpemerintah yang menekankan pada prinsip negara-bangsa, seperti territorial sovereignty, state integrity, dan non-interference.
DARI PINGGIRAN KE PANGGUNG UTAMA
Meski termasuk negara pendiri OKI pada 1969, kiprah Indonesia di organisasi ini mengalami pasang surut. Pada awal Orde Baru, sentimen politik dalam negeri yang alergi terhadap politik Islam membuat Indonesia menolak menandatangani Piagam OKI 1972 dengan alasan Indonesia bukan negara berdasarkan Islam. Padahal, tidak ada ada prasyarat dasar negara Islam untuk bergabung dengan OKI.
Pada 1991, Indonesia menjadi anggota penuh OKI ditandai dengan kehadiran Presiden Soeharto pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) OKI Dakar Senegal. Dari titik itu, peran Indonesia perlahan meningkat: menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menlu (KTM) OKI ke-24 (1996), Forum Menteri Perempuan (2012), Konferensi Pariwisata Islam (2014), hingga pertemuan menteri ketenagakerjaan (2015).
Pada era reformasi, identitas politik luar negeri Indonesia di mata dunia kian lekat dengan citra Islam moderat yang demokratis dan toleran. Sebagai negara berpenduduk muslim terbesar sekaligus demokrasi muslim paling stabil, Indonesia sejatinya adalah natural leader dunia Islam.
Di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kiprah Indonesia di OKI kian menonjol. SBY tercatat sebagai kepala negara Indonesia yang paling sering hadir di KTT OKI, bahkan selepas menjabat pun dipercaya menjadi anggota Wise Persons Council (2016), yaitu dewan para negarawan yang memberi masukan strategis bagi penyelesaian damai konflik di dunia Islam. Anggotanya terdiri atas mantan Kepala Negara RI (SBY), Turki (Abdullah Gül), dan Nigeria (Jenderal Abdulsalami Abubakar), serta beberapa mantan menteri luar negeri negara anggota OKI.
Puncak peran Indonesia tampak jelas pada KTT Luar Biasa OKI tentang Palestina di Jakarta (2016) yang menghasilkan Jakarta Declaration. Pesan Presiden Jokowi saat itu tegas: jika OKI tidak mampu menjadi bagian dari solusi Palestina, keberadaannya dipertanyakan. Komitmen ini berlanjut pada KTT Arab-Islam 2023 yang mana Menlu RI ditunjuk sebagai bagian dari Komite Menteri Arab-Islam beranggotakan delapan negara yang mendapat mandat untuk mendorong gencatan senjata di Gaza.
Selain Palestina, Indonesia menjadi garda depan advokasi muslim minoritas tertindas. Dalam krisis Rohingya, Indonesia ikut membentuk Contact Group OKI, mengirim bantuan kemanusiaan, dan mendukung langkah hukum di Mahkamah Internasional.
Pada isu Uighur, Indonesia berani memanggil Duta Besar Tiongkok untuk meminta klarifikasi dugaan pelanggaran HAM (2018)--langkah yang jarang dilakukan negara OKI lain. Di Afghanistan, RI mengusung diplomasi ulama melalui dialog langsung dengan Taliban (2022-2023) untuk memperjuangkan hak pendidikan perempuan.
Di bidang kelembagaan, Indonesia menjadi motor reformasi OKI. Dukungan pada Ten-Year Programme of Action menghasilkan revisi Piagam OKI, perubahan nama organisasi, dan pembentukan Komisi HAM Independen Tetap (IPHRC) dengan Prof Siti Ruhaini Dzuhayatin dari Indonesia sebagai ketua pertama.
Pada 2019, RI memprakarsai Contact Group on Peace and Dialogue. Forum ini awalnya fokus pada konflik internal dunia Islam, tapi setelah tragedi penembakan Masjid Christchurch Selandia Baru (2019), mandatnya meluas untuk memerangi islamofobia. Hasilnya ialah Plan of Action on Islamophobia 2020-2023, yang kemudian mendorong lahirnya resolusi PBB tentang kekerasan berbasis agama.
Kiprah Indonesia di OKI juga mencakup mediasi damai dan pembangunan. Di Filipina Selatan (Mindanao), Indonesia memfasilitasi Jakarta Accord (1996) dan sekaligus mengirim kontingen Garuda XVII sebagai pemantau gencatan senjata (1994-2002). Sejak 2018, Indonesia diakui sebagai OIC Centre of Excellence on Vaccines and Biotechnology melatih peneliti negara OKI dalam teknologi vaksin.
Di sektor ekonomi, RI menjadi pemegang saham terbesar ketiga di Bank Pembangunan Islam (Islamic Development Bank/IsDB) sejak 2023, memperkuat posisi tawar dan peluang pembiayaan pembangunan dunia Islam. Pada akhir masa Jokowi, Indonesia akhirnya meratifikasi Piagam OKI melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2024.
Fakta-fakta ini menunjukkan transisi Indonesia dari anggota 'setengah hati' menjadi kontributor signifikan dalam diplomasi dunia Islam. Dari Palestina hingga Mindanao, dari diplomasi ulama hingga diplomasi vaksin, Indonesia membuktikan diri sebagai garda depan dunia Islam. Kiprah ini bukan sekadar prestasi diplomasi, melainkan modal kuat untuk menempati posisi puncak di OKI--mengarahkan organisasi menuju masa depan yang lebih relevan dan berdaya bagi 57 negara anggotanya.
MOMENTUM EMAS 2026
Pada 2026 mendatang akan menjadi momen penting dalam kepemimpinan OKI. Masa jabatan Sekretaris Jenderal OKI saat ini, Hissein Brahim Taha (asal Chad), akan berakhir pada 17 November 2026. Diperkirakan pemilihan Sekjen OKI yang baru akan dilakukan pada KTM ke-52 OKI di Irak pada semester pertama 2026 dan pengukuhannya pada KTT ke-16 Islam di Baku, Azerbaijan (20-24 Juni 2026).
Sesuai dengan prinsip rotasi geografis (Arab-Afrika-Asia) di OKI, kali ini giliran kelompok Asia untuk mengajukan calon sekjen berikutnya. Prinsip rotasi dan pemerataan tersebut diamanatkan demi keadilan antaranggota OKI yang mana setiap negara anggota berhak mengisi posisi sekjen (dengan masa jabatan lima tahun, maksimal dua periode).
Sepanjang sejarah OKI sejak 1969, belum pernah ada putra Indonesia yang menjabat sekjen OKI. Sedangkan beberapa negara Asia lain pernah menduduki pos tersebut seperti Tunku Abdul Rahman (Malaysia) menjadi sekjen pertama OKI 1971-1973, Syed Sharifuddin Pirzada (Pakistan) menjabat sekjen 1985-1988, dan Ekmeleddin Ihsanoglu (Turki) memimpin transformasi OKI 2005-2013. Dengan demikian, Indonesia sangat layak diberikan mandat untuk memimpin dunia Islam melalui jabatan sekjen OKI mendatang.
Bagi Indonesia, tahun 2026 adalah memontum emas yang tidak boleh dilewatkan untuk mengajukan calon sekjen OKI. Dalam konteks OKI, Indonesia memegang peran penting dalam isu-isu utama OKI seperti Palestina, pembangunan dunia Islam, dan reformasi kelembagaan.
Dalam konteks kebijakan luar negeri, Indonesia juga menunjukkan ekspansi yang signifikan, termasuk dengan bergabungnya ke dalam forum BRICS yang memperluas jejaring global dengan negara-negara Global South.
Posisi global Indonesia juga sedang menguat, dibuktikan dengan keberhasilan memimpin G-20 (2022), menjadi Ketua ASEAN (2023), dan Presiden Prabowo yang aktif memimpin langsung safari diplomasi di luar negeri. Indonesia juga akan menjadi ketua organisasi D-8 (2026-2027) dan mencalonkan diri kembali sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (2029–2030).
Semua langkah ini sejalan dengan arah Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 yang menempatkan peningkatan kepemimpinan dan pengaruh internasional Indonesia sebagai salah satu sasaran strategis utama. OKI, sebagai forum yang hampir seluruh anggotanya berasal dari Global South, merupakan platform yang ideal untuk mendorong terbentuknya tatanan global yang lebih adil, inklusif, dan seimbang.
Lebih dari itu, OKI juga dapat di...