Liputan6.com, Jakarta Keracunan makanan menjadi salah satu masalah kesehatan yang masih sering terjadi tanpa disadari masyarakat. Padahal, banyak kasus muncul dari makanan yang terlihat biasa dikonsumsi sehari-hari.
Menurut dokter Trimaharani dari Indonesia Toxicology Society, secara umum, keracunan dibagi menjadi dua jenis, yaitu keracunan alami dan keracunan non-alami.
“Keracunan alami itu misalnya digigit ular, hewan laut, insekta, bakteri, virus, tumbuhan, jamur, ya. Kalau keracunan non-alami itu misalnya obat-obatan, makanan ini, kemudian pestisida, plastik, logam-logam berat, kemudian dari bahan-bahan kimia rumah tangga, kosmetik, dan sebagainya,” jelas Trimaharani dalam Webinar Mengatasi Keracunan Makanan Non Alami pada Minggu, 5 Oktober 2025.
Trimaharani menekankan, keracunan makanan dan minuman bisa terjadi karena dua kondisi, yaitu intoksikasi dan infeksi oleh bakteri. Intoksikasi masuk dalam ranah toksin, yang mana kebanyakan toksin ini disebabkan oleh bakteri, menghasilkan kondisi yang disebut intoksikasi.
“Antara toksin dan infeksi itu berbeda,” kata Trimaharani.
“Untuk yang masalah toksinnya, ternyata masalah-masalah ini penting. Yaitu tidak boleh kontaminasi, bakteri patogennya tidak bisa berkembang menghasilkan sitoksin, dan daya hidup dari bakteri patogen itu harus bisa dimatikan,” lanjutnya.
Penyebab Keracunan
Selain itu, Trimaharani menyebut, masalah keracunan yang terjadi akhir-akhir ini di Indonesia kebanyakan scombroid poisoning. Apa itu? Yaitu keracunan akibat ikan yang tidak dimasak dengan sempurna.
Hal tersebut disebabkan oleh kandungan histamin yang tinggi, seperti pada ikan tuna, mackerel, dan escolar. Menurut Trimaharani, kebanyakan ikan tuna yang dipasar itu dimasak setengah matang untuk dipasarkan.
Lebih lanjut ia menambahkan, ukuran ikan tuna yang besar membuat ikan tersebut mungkin sulit untuk habis dalam waktu satu hari, bisa seminggu, bahkan satu bulan.
“Ikan tuna itu tidak beracun sebetulnya, tetapi kandungan histaminnya akan meningkat seiring bakteri yang ada di dalamnya. Kan setengah matang, jadi bakterinya masih hidup ya, sehingga histamin itu terjadi karena pengubahan listidin yang ada di dalam ikan tuna tadi terus meningkat. Semakin lama dia di pasar, karena tidak dijual, maka semakin lama juga bakteri tadi mengubah listidin jadi histamin,” jelasnya.
Gejala Keracunan
Kadar histamin yang terus meningkat ini kemudian akan menyebabkan kondisi yang disebut hiperhistamin. Keracunan akibat hiperhistamin ini akan menunjukkan beberapa gejala bagi orang yang terjangkit.
Gejala tersebut seperti kemerahan, ruam di kulit, denyut jantung meningkat, nyeri kepala, mual, muntah, dan diare.
“Seperti alergi, makanya disebutkan alergi. Padahal dia adalah keracunan karena scrombroid tadi. Atau ikan tuna escola dan sebagainya yang dimasak tidak dengan kondisi segar atau matang sekali. Jadi bakterinya masih ada,” ujar Trimaharani.
Lebih lanjut, ia menyebut gejala yang timbul hampir sama dengan gejala alergi.
“Menu ikan adalah menu yang berisiko tinggi terhadap terjadinya kasus ini, terutama ikan jenis ini (tuna, escolar, makarel),” tambahnya.
Risiko Keracunan dari Makanan Sehari-hari
Trimaharani juga menyoroti ikan buntal, jamur liar, dan ikan laut berukuran besar sebagai contoh sumber racun berbahaya.
“Kalau makan ikan terus enggak tahu jenisnya apa, penjualnya asal ngomong, padahal itu ikan buntal, itu yang sering terjadi,” ungkapnya.
Ia menyebut, ikan buntal memiliki sekitar 8 spesies yang kedelapannya sama-sama mengandung tetrodoxin. Tetrodotoxin adalah senyawa yang bisa menyebabkan kelumpuhan, gagal napas, hingga kematian, jika tidak diolah dengan benar.
Trimaharani juga mengingatkan bahaya jamur liar yang sering diambil setelah hujan.
“Jangan menggunakan jamur liar. Pakai saja jamur yang budidaya seperti jamur kuping atau jamur merah,” tegasnya.
Kasus kematian akibat jamur beracun, katanya, bahkan pernah terjadi di beberapa daerah di Indonesia.
Selain bahan alami, racun juga bisa muncul dari bahan kimia seperti pestisida dan logam berat yang mencemari makanan.