Liputan6.com, Jakarta - Publik kerap mendengar kabar keberhasilan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) menekan biaya layanan. Angka klaim yang stabil dan tarif operasi yang dianggap murah sering dipublikasikan sebagai bukti efisiensi. Namun, di balik narasi itu ada realitas pahit: dokter, rumah sakit, dan pasien kerap menjadi korban penghematan semu.
Bayangkan sebuah operasi sederhana. Tarif yang ditetapkan hanya cukup untuk sebagian kecil kebutuhan: gaji dokter, obat, alat kesehatan, listrik, hingga rawat inap.
Laporan keuangan memang tampak efisien, tetapi di ruang operasi dokter bekerja dengan beban berat, rumah sakit berhemat di tempat yang seharusnya tidak boleh ditekan, dan pasien berisiko mendapat layanan seadanya.
Inilah yang disebut efisiensi semu: sistem terlihat hemat, tapi masyarakat menanggung biaya sosial yang lebih besar.
Kebijakan tarif rendah dalam jangka pendek tampak menguntungkan negara. Namun, di lapangan yang terjadi justru sebaliknya. Rumah sakit terpaksa menaikkan tarif layanan non-JKN untuk menutup defisit, sementara dokter menghadapi dilema etis ketika diminta berhemat dengan obat atau alat yang kualitasnya lebih rendah.
Yang paling dirugikan tentu pasien. Mereka berisiko mengalami komplikasi, harus dirawat ulang, atau kehilangan produktivitas akibat penyakit yang tak kunjung pulih. Situasi ini memperlihatkan bagaimana kebijakan yang tampak hemat di atas kertas justru menambah beban nyata di lapangan.
Membayar Mutu, Bukan Jumlah
Fenomena inilah yang bisa disebut sebagai 'efisiensi semu;. Sistem terlihat hemat, tetapi sesungguhnya menimbulkan biaya sosial yang jauh lebih besar.
Negara mungkin berhasil menekan angka klaim, tetapi masyarakat menanggung layanan yang tidak optimal. Karena itu, solusinya bukan semata-mata soal menaikkan tarif dasar, melainkan menata ulang cara pembiayaan layanan kesehatan.
Kenaikan tarif memang penting untuk mendekati biaya riil. Namun, jika hanya berhenti di sana, masalah mutu tidak serta-merta teratasi. Sistem pembayaran yang ada tetap berisiko mendorong volume layanan tanpa jaminan kualitas.
Yang dibutuhkan adalah perubahan cara pembayaran: dari sekadar membayar jumlah layanan menjadi membayar mutu hasil layanan.
Perubahan ini menempatkan kualitas klinis dan keselamatan pasien sebagai ukuran utama, bukan sekadar kuantitas tindakan medis.
Model yang ditawarkan adalah blended payment atau pembayaran campuran. Artinya, tarif dasar tetap dipertahankan, tapi ditambahkan insentif bila mutu layanan terjaga dan risiko dikendalikan.
Dengan cara ini, tenaga medis mendapat penghargaan yang layak, rumah sakit terdorong menjaga standar, dan pasien memperoleh layanan yang lebih aman.
Contoh yang Sudah Ada
Di tingkat layanan primer, mekanisme kapitasi berbasis risiko sebenarnya sudah diperkenalkan melalui Permenkes No. 3 Tahun 2023.
Regulasi ini memungkinkan besaran kapitasi berbeda sesuai karakteristik peserta, seperti usia lanjut, penyakit kronis, atau lokasi terpencil.
Demikian pula, skema insentif berbasis kinerja sudah ada dengan indikator angka kontak, rasio rujukan, atau program penyakit kronis.
Namun, penerapannya di lapangan masih terbatas dan indikator yang digunakan lebih banyak menilai administrasi dan proses, bukan hasil nyata yang dirasakan pasien.
Karena itu, insentif tambahan perlu diarahkan pada mutu klinis dan layanan, seperti keberhasilan kontrol hipertensi dan diabetes, cakupan imunisasi lengkap, maupun pengalaman pasien, dengan bobot yang jelas dan transparan.
Di rumah sakit, sistem INA-CBG yang selama ini dipakai juga bisa diperkuat dengan pendekatan berbasis mutu (Quality-Adjusted DRG).
Dengan begitu, rumah sakit mendapat tambahan pembayaran bila patuh pada standar klinis, menjaga keselamatan pasien, dan menekan angka rawat ulang. Sebaliknya, bila mutu rendah, pembayaran otomatis dikurangi.
Pemerintah kini tengah merancang pembaruan sistem pembayaran rumah sakit agar lebih adil dengan mempertimbangkan tingkat kompleksitas dan keparahan kasus.
Namun, agar tidak menjadi wajah baru dari masalah lama, sejumlah celah harus diantisipasi: lemahnya integrasi layanan primer dengan rujukan, kesiapan SDM dan administrasi klaim, ketimpangan kesiapan antara RS besar dan daerah, potensi sengketa tanpa otoritas tarif independen, serta blind spot promotif–preventif.
Antisipasi ini penting agar reformasi tarif tidak sekadar rapi di atas kertas, melainkan benar-benar berpihak pada mutu layanan kesehatan dan keberlanjutan JKN.
Tata Kelola dan Reposisi TKMKB
Kunci dari semua reformasi adalah tata kelola. Selama tarif ditentukan secara birokratis tanpa keterlibatan tenaga medis, masalah akan terus berulang.
Dalam konteks JKN, sebenarnya sudah ada mekanisme resmi berupa Tim Kendali Mutu Kendali Biaya (TKMKB) yang bekerja di berbagai tingkatan, tugasnya meliputi audit medis, monitoring klaim, serta memberikan rekomendasi mutu dan biaya.
TKMKB perlu diperkuat dan direposisi. Langkah reformasi yang paling masuk akal adalah mengarahkan TKMKB menjadi lembaga independen penetapan tarif sekaligus pengawal mutu dan biaya.
Dengan reposisi ini, TKMKB tidak lagi hanya memberi rekomendasi, tetapi berwenang menetapkan tarif berbasis bukti: menghitung real-costing, memperhitungkan inflasi medis, dan menyesuaikan kompleksitas layanan.
Mandatnya pun tidak berhenti pada angka. Lembaga ini juga bertugas memastikan pelaksanaan kendali mutu dan kendali biaya secara berkesinambungan.
Logikanya sederhana: tarif tanpa mutu hanya melahirkan angka semu, sementara mutu tanpa otoritas tarif akan berakhir pada rekomendasi yang tidak mengikat.
Model seperti ini sudah berjalan di negara lain. Independent Hospital Pricing Authority (IHPA) di Australia tidak hanya menentukan tarif nasional, tetapi juga memantau efisiensi rumah sakit.
Di Jerman, Institute for Quality and Efficiency in Health Care (IQWiG) menilai efektivitas medis sekaligus aspek biayanya. Jika negara lain bisa melakukannya, Indonesia pun seharusnya berani mengambil langkah serupa.
Investasi Bukan Beban
Reformasi tarif tentu membutuhkan biaya tambahan. Wajar bila ada kekhawatiran beban fiskal akan meningkat. Namun, tambahan biaya ini seharusnya dipandang sebagai bentuk investasi, bukan sekadar pengeluaran.
Berbagai simulasi menunjukkan bahwa insentif mutu justru bisa dibiayai dari penghematan. Rujukan yang tidak perlu akan berkurang, lama rawat yang terlalu panjang bisa ditekan, dan angka rawat ulang dapat menurun.
Semua ini berarti klaim yang tadinya membengkak bisa dikendalikan secara lebih efisien.
Bahkan bila dibutuhkan tambahan anggaran 0,5–1% dari total klaim, nilainya sepadan dengan manfaat jangka panjang: dokter yang lebih sejahtera, rumah sakit yang lebih sehat, dan pasien yang terlindungi dengan layanan yang lebih bermutu.
Menata Ulang JKN demi Mutu dan Keadilan
Dokter yang dihargai layak akan memberikan pelayanan terbaik, rumah sakit yang sehat secara ekonomi mampu menjaga standar, sehingga masyarakat akan mendapat layanan yang aman, bermutu, dan manusiawi.
JKN tidak boleh lagi didefinisikan semata-mata sebagai program efisiensi biaya. Ia harus dipahami sebagai investasi bangsa untuk kesehatan warganya. Reformasi tarif berbasis risiko, insentif mutu, dan transformasi TKMKB menjadi lembaga independen adalah langkah nyata menuju sistem jaminan kesehatan yang adil dan berkelanjutan.
Saatnya pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan profesi medis duduk bersama untuk menata ulang tata kelola pembiayaan.
Bukan besaran angka efisiensi yang seharusnya jadi ukuran keberhasilan, melainkan seberapa jauh kita mampu memastikan setiap warga mendapatkan pelayanan yang layak tanpa kompromi.
Karena pada akhirnya, ukuran keberhasilan JKN bukan angka penghematan, melainkan nyawa dan kualitas hidup rakyat yang terlindungi.
Penulis
DR. dr. Zainy Hamzah, Sp.BS.(K), F.N-Onk., F.N-TB., D.ABRM
Dokter Spesialis Bedah Saraf,
Ketua Program Studi Profesi Dokter Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKK UMJ),
Ketua Bidang Hubungan Kelembagaan dan Masyarakat Perhimpunan Dokter Pembiayaan Jaminan Sosial dan Persasuransian Indonesia (PERDOKJASI),
Direktur Medis Pengurus Pusat Ikatan...